Jangan Pernah Membandingkan Duka: Resensi Buku "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring"

 

gambar sampul buku "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" (sumber: goodreads.com)

RESENSI BUKU

Judul

:

Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring

Penulis Buku

:

dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ

Penerbit

:

Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit

:

Desember 2023

Cetakan

:

Kesebelas, Maret 2025

Tebal Buku

:

205 halaman

Oleh

:

Shihatud Diniyah An Nabilah

 

Buku “Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring” ditulis oleh seorang psikiater dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ, buku ini membawa pembaca ke ruang yang jarang dijamah: bagaimana seorang profesional kesehatan jiwa mengulas duka yang ia alami sendiri. Bukan dari podium teori, melainkan dari tempat yang paling rapuh dalam hidupnya saat kehilangan ayah, disusul putranya yang sangat spesial, Hiro. Diterbitkan pada akhir 2023 oleh Gramedia Pustaka Utama, buku ini menjadi jembatan yang mempertemukan ilmu psikologi dengan keseharian tanpa membuat salah satunya terasa rumit.

Alih-alih menjelaskan duka lewat konsep-konsep abstrak, penulis memilih metafora yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari: mencuci piring. Di tangannya, aktivitas yang biasanya dianggap sebagai tugas rumah tangga berubah menjadi cara yang jujur untuk memahami penerimaan. Ia bahkan membuka bagian awal dengan kalimat yang cukup tegas:

Jangan pernah membandingkan duka satu orang dengan orang lain.

Sebuah pengingat bahwa duka bukan perlombaan, dan tidak perlu diselesaikan dengan tergesa-gesa.

Gaya Penulisan

Hal yang paling menonjol dari buku ini adalah cara penulis bercerita. Meski ia seorang psikiater, ia sengaja menurunkan jarak profesional itu sehingga pembaca merasakan kedekatan, bukan nasihat dari seorang ahli. Gaya bahasanya ringan, humoris, tenang, dan apa adanya. Setiap bab dibangun seperti kita menata piring-piring bersih di rak; pelan dan rapi, memberi ruang bagi pembaca untuk mengikuti alur tanpa merasa ditekan untuk langsung memahami semuanya.

Dari pola penulisan yang sederhana itu, penulis perlahan menarik pembaca ke metafora utama buku ini: mencuci piring. Konsep psikologi seperti Acceptance and Commitment Therapy (ACT), yang biasanya penuh istilah teknis, diterjemahkan menjadi tindakan sehari-hari yang sangat mudah dibayangkan: menyalakan air, menyabuni piring, membilas satu per satu, lalu menaruhnya kembali.

Dalam salah satu bagiannya, penulis bahkan menceritakan bagaimana ia memulai hari-hari beratnya dengan satu tindakan kecil: mencuci satu piring terlebih dahulu sebagai cara untuk menggerakkan dirinya yang sempat terhenti oleh duka.

Ada pula momen ketika ia bercerita tentang sulitnya menyentuh kamar putranya setelah kepergian sang anak. Ruangan itu penuh kenangan, dan yang akhirnya ia lakukan hanyalah memulai dari benda paling kecil yang sanggup ia sentuh saat itu. Dari sinilah kutipan berikut terasa benar adanya:

Kenyataannya, duka tidak akan mengecil. Tapi yang bisa berkembang adalah kita, kotak yang menjadi wadahnya”.

Metafora tersebut bekerja bukan hanya karena sederhana, tetapi karena menyentuh pengalaman yang sangat manusiawi, kita semua pernah menunda hal kecil yang terasa berat, sama seperti kita menunda menghadapi kehilangan.

Struktur Buku

Buku ini terdiri atas 16 bab yang disusun sebagai perjalanan yang tidak memaksa pembacanya langsung paham. Ia memberi ruang untuk berhenti, menghela napas, dan menyerap makna sedikit demi sedikit. Dari sisi pembaca, beberapa bab terasa lebih kuat dan lebih padat, sementara sebagian lainnya lebih ringan, mirip catatan harian yang ditulis jujur apa adanya. Meskipun ada perbedaan intensitas, struktur tersebut tetap terasa selaras dengan tema buku: duka tidak pernah berjalan dalam garis lurus.

Humor gelap sesekali muncul dan menjadi penyegar di tengah topik yang berat, meskipun kadang membuat perpindahan antarbagian terasa mendadak. Namun, justru gaya seperti ini memperlihatkan kejujuran penulis: seorang psikiater yang tetap manusia biasa; tak selalu kuat, tak selalu stabil, dan tak selalu tahu harus bagaimana dalam menghadapi kehilangan.

Kekurangan dan Kelebihan

Sebagai catatan, sejak awal buku ini memang tidak diposisikan sebagai buku tutorial atau buku dengan langkah-langkah sistematis dalam menghadapi duka. Pembaca yang datang dengan ekspektasi mencari petunjuk atau strategi yang terstruktur mungkin akan mendapati buku ini kurang tepat karena lebih banyak mengajak merenung daripada memberi arahan langsung.

Selain itu, narasi yang mengikuti alur pengalaman personal penulis membuat ritme bacaan tidak selalu stabil. Ada bagian yang sangat kuat secara emosional, sementara bagian lain terasa lebih ringan dan singkat. Alur yang naik-turun ini sebenarnya sejalan dengan pengalaman berduka, tetapi di beberapa bagian perpindahan antarbab terasa mendadak.

Dalam budaya yang sering menuntut kita untuk cepat pulih dan bangkit, buku ini menawarkan sesuatu yang jauh lebih manusiawi: ruang untuk tidak baik-baik saja. Ia tidak memberikan formula berdosis tinggi untuk mempercepat penyembuhan, tidak pula menyodorkan solusi instan dengan kalimat motivasi yang dibesar-besarkan. Yang diberikan justru sesuatu yang lebih penting: cara untuk hadir bersama rasa sakit diri sendiri, tanpa merasa perlu mengusirnya segera.

Karena itu, buku ini relevan tidak hanya untuk mereka yang sedang berduka, tetapi untuk siapa saja yang ingin memahami emosi dengan lebih bertanggung jawab. Ia membantu pembaca melihat bahwa kehilangan tidak perlu dilawan habis-habisan. Ia bagian dari hidup, dan hidup tidak menuntut kita untuk selalu cepat.

Kesimpulan

Sebagai karya nonfiksi personal, buku ini berhasil merangkul dua sisi penulis: sebagai psikiater dan sebagai manusia yang sedang belajar menerima kehilangan. Dengan metafora mencuci piring yang konsisten, buku ini menunjukkan bahwa penerimaan bukan tujuan akhir; ia adalah proses kecil yang dikerjakan berulang-ulang seperti piring-piring yang terus saja ada untuk dicuci. Resensi ini tentu hanya satu cara untuk membaca buku tersebut. Pada akhirnya, buku ini akan berbicara berbeda kepada setiap pembacanya, terutama bagi mereka yang berani berhenti sejenak dan menatap ruang kosong dalam dirinya sendiri.


Peresensi: Shihatud Diniyah An Nabilah
Editor: Fajar Fahrozi Kurniawan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak