Ketika Jurnalisme Menjadi Iman: Refleksi Integritas dalam Pusaran Media Indonesia

Sumber: gramedia.com

Judul Buku: Agama Saya Adalah Jurnalisme
Pengarang: Andreas Harsono
Penerbit: PT Kanisius
Tahun Terbit: 2010
Jumlah Halaman: 268  

"Jurnalisme bukan sekadar profesi. Ia adalah keyakinan." Kalimat ini bukan hanya pembuka yang provokatif, tetapi juga inti dari keseluruhan narasi dalam buku Agama Saya adalah Jurnalisme. Buku ini merupakan kumpulan esai personal dan profesional seorang jurnalis senior, Andreas Harsono, yang telah menjalani dunia jurnalisme selama lebih dari dua dekade. Melalui pengalaman liputan di berbagai wilayah konflik dan penindasan di Indonesia, Andreas menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar catatan peristiwa: ia menyodorkan iman akan kebenaran, yang dalam dirinya menjelma sebagai jurnalisme itu sendiri.

Buku ini bukan karya fiksi, bukan pula sekadar dokumentasi laporan jurnalistik. Ia adalah memoar yang dibingkai dengan refleksi mendalam dan pembelaan tanpa kompromi terhadap prinsip-prinsip jurnalisme: kebenaran, verifikasi, keadilan, dan keberpihakan pada yang tertindas. Di tengah lanskap media Indonesia yang kerap dikungkung sensor, represi negara, dan dominasi modal, Andreas menunjukkan bahwa menjadi jurnalis sejati berarti siap untuk tidak disukai, bahkan dibungkam, jika itu adalah harga dari integritas.

Berbeda dengan buku-buku jurnalisme pada umumnya yang disusun berdasarkan peristiwa atau kronologi waktu, buku ini dikelompokkan ke dalam empat dimensi penting: laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan. Empat dimensi ini bukan hanya bingkai teknis, tetapi mencerminkan dunia batin, ideologis, dan etis dari profesi yang dalam pandangan Andreas adalah bentuk pengabdian.

Salah satu keunggulan utama dari buku Agama Saya adalah Jurnalisme terletak pada otentisitas penulisnya. Andreas Harsono menulis bukan sebagai pengamat dari kejauhan, melainkan sebagai pelaku langsung yang menjadi saksi hidup berbagai peristiwa penting di Indonesia. Hal ini memberikan bobot yang kuat pada setiap tulisan dalam buku ini.

Setiap esai yang disajikan tidak hanya sarat dengan fakta, tetapi juga reflektif. Andreas memadukan data, kutipan, dan kisah nyata dengan renungan pribadi yang memperkaya perspektif pembaca. Selain itu, buku ini secara konsisten mengangkat suara-suara yang sering kali terpinggirkan oleh media arus utama, seperti kelompok minoritas agama, etnis, dan gender.

Gaya bahasa yang digunakan pun menjadi nilai tambah tersendiri—tajam, jernih, dan berani. Andreas tidak bertele-tele atau menyamarkan kritiknya; ia menulis dengan keberanian moral dan kejujuran yang jarang ditemukan dalam tulisan jurnalistik masa kini.

Meskipun memiliki banyak kelebihan, Agama Saya adalah Jurnalisme juga memiliki beberapa kelemahan yang patut dicatat. Beberapa bab dalam buku ini sangat kental dengan konteks lokal Indonesia, sehingga mungkin akan sulit dipahami oleh pembaca yang tidak familiar dengan latar sosial-politik atau peristiwa tertentu yang disinggung.

Selain itu, struktur penyusunan bab tidak selalu mengikuti alur kronologis, sehingga bagi pembaca yang baru mengenal karya Andreas atau belum terbiasa dengan gaya esai reflektif, buku ini bisa terasa tidak beraturan dan kurang terarah. Judul bukunya sendiri, yang provokatif dan metaforis, juga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Tanpa membaca keseluruhan isi, pembaca bisa saja menafsirkan secara harfiah bahwa buku ini membahas agama dalam arti sempit, padahal yang dimaksud adalah "agama" sebagai keyakinan terhadap nilai-nilai jurnalisme.


Peresensi: Rima Nihayatul Aida
Editor: Zidni Rosyidah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak