![]() |
Doc.Google |
Popcorn Brain adalah fenomena yang menggambarkan kondisi otak manusia yang terus-menerus terpapar stimulasi digital dalam jumlah besar, seperti notifikasi handphone, video dan konten digital lainnya. Dalam artikel A Psychologist Explains The Rise Of ‘Popcorn Brain’ menunjukan bahwa istilah Popcorn Brain pertama kali diperkenalkan oleh David Levy seorang peneliti Universitas Washington pada tahun 2011. Istilah itu merujuk pada kondisi mental dengan pikiran yang tidak fokus dan melompat dari ide satu ke ide lainnya, mirip seperti gerakan popcorn yang meletup-letup saat matang. Fenomena ini semakin relevan dengan kondisi teknologi yang berkembang, ketika perangkat digital tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Popcorn Brain syndrome bisa terjadi kepada siapa pun. Bukan hanya orang dewasa saja, melainkan anak-anak juga bisa mengalaminya. Faktor-faktor yang membuat seseorang terjebak dalam kondisi ini, antara lain: Terlalu banyak informasi (overload) kondisi otak yang kewalahan menerima banyak informasi, Multitasking Digital kebiasaan beralih aplikasi sehingga kurang fokus dalam satu tugas atau pemikiran, Algoritma Yang Menjebak platform digital mampu mendeketeksi hal-hal yang kita sukai dan terus menghadirkannya pada gawai, sehingga sulit untuk lepas dari gadget, dan kecanduan media sosial.
Ada sebab tentunya terdapat akibat. Jika dibiarkan, popcorn brain akan berdampak pada aspek kehidupan, antara lain: Penurunan kualitas kesehatan mental (stress, kemampuan berkonstrasi menurun dan kecemasan), Hubungan sosial (kurangnya berinteraksi dengan lingkungan sekitar), Penurunan produktivitas (kualitas produktivitas dalam melakukan kegiatan positif menjadi terganggu).
Menurut saya, sudah seharusnya kita meningkatkan kesadaran akan bahaya popcorn brain syndrome, mencegah bagi yang belum terkena dan mengatasi bagi yang terlanjur terjebak dalam konsidi ini. Memang kelihatan sulit megubah kebiasaan, tetapi langkah kecil membawa dampak besar. Berikut langkah-langkah yang dapat di lakukan: Mengurangi penggunaan medsos secara bertahap, Latih fokus dengan membaca buku, Praktikkan mindfulness atau meditasi supaya otak bisa kembali fokus, Batasi konsumsi konten cepat, Tingkatkan aktifitas fisik dan habiskan waktu di alam. Dengan begitu kita memberi ruang bagi otak untuk bisa kembali bernapas, fokus, tenang dan terkoneksi secara mendalam.
Penulis: Mukti Rahma (Kru Magang 2024)
Editor: Faizul Ma'ali