Monolog Jiwa yang Terabaikan

 

Dok. Pinterest

Aku menatap pantulan cahaya 
Menampilkan bayangan disana
Wajah merah hitam dan kelopak mata yang bengkak, 
“Kamu menangisi apa lagi?” tanyaku,

Bayangan itu diam, menatapku, membuat dadaku sesak,
Bayangan itu menangis, 
Lalu pandanganku menjadi buram,
“Kamu kenapa?” tanyaku,

Tangisnya tambah menjadi-jadi, aku mengusap air matanya dengan dada yang sesak, Aku mengatur nafasku, 
tapi aku masih tersedu-sedu 
“Tidak apa-apa” tuturku agar dia berhenti menangis, 

Ku silangkan kedua tanganku di depan dada, 
Memeluk erat diri ini, 
Dan berkata “Tidak apa-apa, besok akan baik-baik saja”
Karena tidak ada manusia yang bisa mengerti sepenuhnya, kecuali diri sendiri.

Bayangan itu tenang, mencoba menerima keadaan,
Aku tersenyum, bayangan itu ikut tersenyum,

Kau tahu...
Bayangan itu adalah aku,
Aku adalah diriku dan dia, yang bisa menerima semua keadaanku,

Semua ceritaku, semua deritaku, dan semua senangku,
Inginku selalu terlihat senang kala melihatnya,

Tapi yang ada aku hanya mencarinya ketika aku tidak punya tempat,
Tempat untuk menunjukkan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja,

Aku sangat kasihan pada diriku ini, 
Banyak hal yang ada dipikirkan 
Berharap ia keluar melalui suara, 

Tapi tidak, ia menetes melalui air mata,
Banyak hal aku harapkan 
Tapi yang terjadi tak sesuai ekspektasi dan keputusanku
Melainkan keputusan orang lain,

Banyak hal yang ingin aku ceritakan tapi tiada hati yang menerima, 
Dan ego yang tidak mau kalah,
Tidak mau kalah terhadap penderitaan,

Kenapa semua orang berlomba atas banyaknya penderitaan?
Merasa dirinya yang paling menderita?
Apakah sulit untuk menerima bahwa dunia bukan hanya tentang dirinya?

Apakah sulit untuk bertanya, “kamu kenapa? Apakah kamu baik-baik saja? Apa yang bisa aku bantu?”
Sesulit itu kah sampai yang keluar hanya kata, “kamu masih mending, daripada aku…”

Sungguh, itu lebih menyakitkan dari rasa sakit sebelum bercerita. 
Memang tempat terbaik untuk bercerita adalah bayangan diri sendiri,
Yang tidak akan membandingkan,
Yang tidak akan menghakimi, 
Yang tidak akan menyakiti,

Apakah memang manusia di fase dewasa semenyeramkan ini?
Tidak adakah manusia yang mau menemani ketika kehujanan,
Meski dia sudah di tempat yang kering?
Tidak adakah manusia yang ingin menunggu, 

Ketika dia sudah di tempat yang dituju?
Tidak adakah manusia yang mau melihat kebelakang,
Meski dia sudah berada jauh di depan?
Tidak adakah manusia yang mau menggenggam,

Meski genggamannya sudah penuh?
Tidak adakah manusia yang mau menyisakan tempat untuk diri ini yang tidak punya tempat di mana-mana?
Tidak adakah manusia yang mau mencoba mengeluarkan diri ini yang terjebak diruang hampa?
Akankah ada?

Oleh : Nur Khasanah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak