Dok. Google
SEMINGGU ini ia merasa aneh dengan gendang telinganya, seringkali mendengar suara yang tak jelas asalnya—mendengung begitu keras. Spontan saja ia sumpal kedua lubang telinganya dengan telunjuk. Sepertinya suara itu sangat mengganggu.
‘Ben, ada apa dengan telingamu?,’ tanya temannya saat itu.
Dengan mendelik dan nafas yang tersengal ia menimpali, ‘Perintah, aku harus beranjak ke barat daya.’
Tio heran melihat tingkahnya, tak begitu jelas apa yang Ben maksud dalam perkataannya tadi. Ia mengangguk saja, mengiyakan perkataan Ben. Ditaruhnya kursi bersebelahan dengan Ben. Fokus mata Tio juga tertuju pada Ben, sambil ia letakkan hape begitu saja di meja depannya. Ia pandangi polah Ben yang sedari tadi tak juga melepas sumpalan telunjuknya. Seperti hantaman keras di kepala Tio, ia mengepal-kepal keningnya melihat Ben yang begitu terpuruk dengan suara-suara tadi.
Di hari yang lain, Tio mengulang lagi pertanyaannya. ‘Ada apa dengan telingamu, Ben?, Kau seperti sangat terganggu dengan suara yang kau ceritakan.’
Terhitung sudah 2 tahun belakangan, mereka tinggal di kotak indekos seadanya. Dengan beralas kasur yang tak begitu luas, ditambah keanehan pada telinga Ben seminggu terakhir ini.
‘Aku seringkali mendengar perintah. Tulang yang hilang, ke arah barat daya; aku tak tahu jelas, tapi begitu perintahnya. Sedikitpun aku juga tak mengenali suara siapa itu,’ dengan tatapan kosong ia menjawab.
‘Apa kau punya saudara di barat daya kota ini?’
‘Aku sendiri di kota ini.’
‘Bagaimana dengan tulang yang hilang itu, apa kau benar-benar menghilangkannya?’
‘Tak ada satupun pengalamanku dengan tulang—apapun itu.’
‘Lalu?’
Mereka terdiam, memandangi atap-atap yang membisu. ‘Tulang yang hilang, ke arah barat daya,’ gumaman itu mengulang terus-menerus di mulut mereka. Berharap ada setitik jalan terang—tapi nihil, mereka tak mendapat jalan keluar apapun.
Di sela jam istirahat, Ben terdiam dengan segelas air putih dan sandwich yang mulai mendingin di depannya. Sesekali ia merobek sedikit di pinggirnya, dan kembali mematung memandangi air putih di depannya. Dari kejauhan lambaian Tio mengarah kepadanya, ‘Ben ..’ Ia hanya menoleh sekejap ke arah Tio.
‘Dari kapan kamu di sini, Ben?’
’15 menit dari tadi,’ jawabnya ketus.
Percakapan hening kembali, Ben juga memalingkan pandangannya ke arah air putih lagi. Tio tak habis akal, ia sambar sandwich di depan Ben. Ia makan sambil memandangi Ben yang tak banyak bicara, namun terlihat banyak beban pikiran.
‘Kenapa kamu? Masih mikirin tulang itu?,’ candanya.
‘Iya, aku masih penasaran dengan tulang itu.’
‘Terus sekarang mau ngapain?,’ kejarnya.
Tak perlu jawaban, pertanyaan itu hilang dalam kebisuan. Ben kembali memalingkan pandangnya ke arah gelas sekali lagi, meraba lingkaran gelasnya dan tak tahu apa yang sedang ia pikirkan dalam kepalanya.
Selang beberapa saat Ben terlihat gelisah, beberapa kali mengusap-usap telinganya. Sebelum akhirnya ia menjerit dan terpental dari kursi duduknya. Ia menggeliat di lantai resto sambil menekan-nekan telinganya ke lantai. Para pengunjung resto juga mulai datang menonton tingkah Ben yang seperti orang kesurupan itu.
‘Kamu kenapa, Ben?,’ tanya Tio sambil panik.
Dengan terbata-bata Ben menjawab, ‘Telingaku berdengung keras, merapalkan suara kemarin.’
Tanpa pikir panjang, Tio membopong tubuh Ben menuju mobilnya, mencari IGD terdekat. Jeritnya semakin menjadi saat di mobil; begitupun saat berjalan menuju ruang IGD. Semua mata memandang Ben dengan heran dan sinis. Para perawat di IGD berkejaran dengan jeritan Ben yang semakin mengeras. Salah satu diantaranya tergopoh mencari dokter yang saat itu berada di luar ruangan.
Terbujur di ranjang, Ben mencoba melawan suara itu walau begitu sulit. Suara itu kian memudar dengan langkah kaki yang mulai mendekatinya.
‘Kak, bagian mana yang terasa sakit?,’ tanya dokter wanita itu.
‘Tak ada, tak ada sedikitpun yang sakit,’ jawab enteng Ben kepada dokter itu. Ia nampak bingung karena suara-suara tadi telah hilang tanpa jejak.
‘Kamu serius? Jeritanmu terdengar dari ujung gedung ini tadi.’
‘Ya, aku serius,’ timpalnya cepat.
‘Biar ku periksa dulu,’ dengan gusar ia meneruskan ‘Em .. semuanya normal—tak ada yang perlu dikhawatirkan.’
‘Lalu kenapa kau tadi menjerit?,’ tambahnya.
‘Ada suara di lubang telingaku, menekan keras kepalaku. Namun semuanya tiba-tiba menghilang.’
‘Suara apa?’
‘Tulang yang hilang, ke arah barat daya.’
Terhuyung sambil kebingungan Ben berjalan kembali menuju indekos, menenangkan fikirannya seusai kekacauan yang terjadi siang tadi. Ia menjatuhkan dirinya ke kasur dengan nafas terengah-engah, tak habis pikir dengan suara aneh di telinganya yang tiba-tiba menghilang saat di IGD.
Keesokan harinya Ben berasa hidup kembali. Ia tak lagi murung dan melamun, ia juga tak mau ambil pusing dengan suara aneh yang kerapkali mampir di gendang telinganya. Jikapun iya—maka tinggal pergi ke IGD untuk membuang jauh-jauh suara itu.
Sedangkan Rin, dokter IGD yang sudah menolong Ben. Mereka sekarang sudah kenal akrab dan seringkali bertemu saat Ben ke IGD. Tak banyak resep obat yang diberikan, hanya sekedar bertemu Rin, itu sudah lebih mujarab dari setumpuk resep obat.
Di suatu malam yang hening, Rin mencoba memejamkan matanya. Sudah sejak 3 jam yang lalu ia masih terjaga, tak bisa semenit pun ia tertidur. Fikirannya berkecamuk dengan suara aneh di rumahnya, setelah ia mendekat ke sumber suara, ia tak menemukan apa-apa. Ia diliputi kegelisahan malam itu. Esoknya, arus berita membanjiri seluruh platform digital dan cetak; terdapat kasus pembunuhan sadis kepada seorang dokter muda bernama Rin. Dadanya terbelah, dan tulang rusuknya hilang 1. Hingga kasus itu bergulir seminggu, pelaku belum juga ditemukan.
‘Kita impas, aku sudah membawa pulang tulang rusukku yang hilang.’
Penulis: Udin
Tags
Cerpen