Mengenai Sebuah Naskah

 

Pic. Pablo Picasso


Pagi-pagi aku merasa bosan dan memutuskan keluar dari apartemen dan berjalan-jalan tanpa tujuan di sekitaran kompleks Oxford, di mana kuputuskan kesehatan jiwaku pasti pulih segera setelah perang memalukan itu. Di salah satu kios buku bekas, aku berhenti, dan mendapati banyak punggung buku yang mengingatkanku pada banyak karya penulis yang pernah kubaca, salah satu di antaranya ‘The Collected Stories’, kumpulan karangan Jorge Luis Borges. Tapi aku tak mengambilnya, dan merasa tidak lagi tertarik padanya meski seketika itu aku mengingat kesenangan-kesenangan yang kuperoleh ketika membacanya. Aku malah tertarik pada sebundel kertas yang diikat tali kasur, kertas teratas bertuliskan ‘Through the Farm, Up the Sky, A. A. A.’

 Nama itu mengingatkanku pada tempat asalku, dan kilasan-kilasan yang coba kuhilangkan tentang perang memalukan di Sendanganyar itu muncul kembali. Kemurkaan. Aku bertanya berapa bundelan itu dihargai, lalu kubeli. Aku memutari kompleks satu kali lagi. Bangunan-bangunan granit, entah arsitektur zaman apa. Orang-orang berjalan di trotoar yang bagus dan leluasa. Meski begitu, mereka berjalan cepat-cepat seolah di ujung jalan sedang menunggu sesuatu entah apa. Orang-orang di tempat asalku tak suka berjalan. Ketika sampai di depan pintu apartemen, aku langsung berbelok masuk.

 Di bawah sinar remang yang menembus tirai dan jendela, aku membaca naskah itu. Ternyata ini sebuah naskah novel pendek, yang aku yakin, belum diterbitkan sebab tidak mencantumkan apa-apa mengenai informasi penerbitannya. Tapi, mengapa bisa sampai di sini, begitu jauh dari tempat asalnya, dalam bentuk naskah yang belum pernah diterbitkan? Novel pendek ini berkisah tentang seorang intelektual bernama Ahmad Asykari yang memutuskan untuk pergi ke desa terpencil, tinggal di pojok desa, dan menulis, dan menulis novel yang tak jadi-jadi hingga akhir hayatnya. Aku sangat yakin intelektual ini merupakan intelektual bodoh yang memutuskan menjauh dari orang-orang sebab dia bodoh; jika memang intelektual, pastilah novel itu selesai. Aku tertawa oleh pikiran itu, namun terperangah ketika kuketahui nama desa itu rupanya Sendanganyar. Bajingan, umpatku. Bukan-murka. Apa-apaan ini. Lalu aku membacanya dengan sungguh-sungguh dan untungnya, novel jelek ini hanya membicarakan tentang si intelektual yang suka melamun hal yang tidak-tidak— dari ulat bulu yang berbicara alterum non laedere, kontol terbang yang tak punya zakar, sampai kematian Putin di atas sajadah sesaat setelah dia melantunkan syahadat. Novel yang nonsens, dan buatku menyakitkan. Novel ini tak berkata apa-apa, dan untungnya tidak sedikitpun mengatakan tentang perang memalukan itu sehingga aku yakin naskah ini sampai di Oxford sebelum usai perang itu.

 Aku bangkit dan meminum kopi yang telah dingin sambil menghadap jendela yang tirainya kusibak. Awan-awan gelap menggantung di ujung cakrawala, sedang di sini hari masih terang. Aku buka jendela dan memperkirakan arah angin: ya, awan itu akan segera kemari. Tak kusangka, novel jelek ini bisa amat mengganggu. Mengalir di tanganku dan bukan-tanganku. Lalu kuputuskan aku tak hendak menyimpan rasa mengganggu ini sendirian. Siapa yang mampu kutemui di kota ini? Aku ingat beberapa nama, namun yang sepertinya mampu kuajak berbagi kegelisahan hanyalah Abdul Aziz Afifi, seorang mantan jurnalis yang memutuskan pensiun setelah, menurut desas-desus, diteror oleh hantu-hantu korban perang Bintoro, yang lebih pas disebut pembantaian ternak daripada perang. Dia tinggal di seberang sungai Thames dan ketika aku sampai di sana kupastikan apa yang kudengar tentangnya memanglah benar: dia memasang banyak jimat dan pusaka Jawa, melafalkan bahasa R’lyehian yang hanya mampu diucapkan dewa-dewa kegelapan ketika aku datang, dan tinggal dalam apartemen gelap dengan cahaya lilin merah, juga mengenakan gamis lengkap dengan surban beserta keris yang konon milik Diponegoro di pinggangnya.

 Saat kutunjukkan naskah itu, ia terperangah dan tak percaya. Itu pertanda buruk, ungkapnya. Lihat! Seekor camar bertengger di jendela. Hush! Camar itu jelmaan roh orang-orang yang mati di laut. Ia mengatakan itu dengan senyum mengerikan khas orang tua yang kesepian. Tapi, lanjutnya, ia tak bisa berkata lebih tentang naskah ini. Sebab ia tak mampu membacanya dalam ruangannya yang remang, dan tambah remang sebab awan hitam sudah lebih dekat daripada tadi. ‘Pergi. Ratu Selatan hendak datang kemari.’

 ‘Tapi, ke mana?’

 ‘Oh, ya. Seorang pembaca rakus, Carlos Brauer namanya. Dia tinggal di seberang sana.’ Ia menunjuk apartemen yang terlihat tepat di depan jendela.

 Aku pergi ke sana dan mendapati empat nama Carlos Brauer pada masing-masing bel flat apertemen itu. Aku menekannya satu-satu dan yang kudapati adalah suara yang sama, yang kedengaran makin jengkel setiap setelah kutekan bel-satu, bel-dua.... Kesan atas empat bel itu memang betul, dan apa yang dikatakan Abdul Aziz Afifi bukanlah kebohongan: Carlos Brauer sepertinya memang pembaca rakus. Apa itu murka? Keempat flat itu penuh berisi buku, termasuk pula jendela-jendelanya, juga kamar mandi. Ia hanya punya kasur lipat, dan peralatan kamping untuk memasak. Jika aku punya loteng, satu flat ini akan jadi tempat yang nyaman untuk beristirahat dari kerja seharian, ucapnya. Kami duduk di samping peralatan kamping dan kasur lipat itu.

 ‘Apa yang membuatmu kemari?’

 Kuperlihatkan naskah itu. Murka. Ia mengambilnya dan membacanya lembar demi lembar. Aku habiskan waktuku berputar-putar mengelilingi keempat flat seraya menunggu ia selesai membacanya. Banyak sekali koleksi milik Carlos yang asing bagiku, dan hanya beberapa judul saja yang sepertinya pernah kubaca. Apa itu bukan-murka? Tapi, aku paling terkejut ketika menemukan ‘Dalih Pembunuhan Massal Bintoro’ tulisan Abdul Aziz Afifi, orang tua kesepian itu, di antara buku-buku milik Carlos.

 ‘Bagaimana bisa kaupunya satu kopi? Saat penerbitan pertamanya, buku ini langsung dirampas dan dimusnahkan.’

 ‘Kukira keajaiban.’

 ‘Bahkan kami di Indonesia tak punya satupun.’ kemurkaan.

 ‘Alangkah sedih.’

 ‘Apa kau tahu dia tinggal di apartemen depan?’ kukatakan itu sambil menunjuk. bukan-tanganku.

 ‘Oh ya? Kupikir dia bukan Abdul Aziz Afifi yang menulis buku itu. Memang itu dia?’

 ‘Iya. Memang dia.’

 Aku lanjut melihat-lihat dan memutuskan mengambil ‘A Chronicle of A Death Foretold’. Hari sudah gelap gulita ketika aku selesai membacanya untuk keempat kali di bawah lampu baca milik Carlos, sedangkan Carlos telah selesai membaca naskah itu dan hampir selesai menjerang air panas dan juga mi rebus untuk kami berdua. Ia menyurungkan segelas teh padaku.

 ‘Bagaimana?’ tanyaku.

 ‘Bagaimana kau mendapatkannya?’

 ‘Aku membelinya. Dari kios di Oxford.’

 ‘Apa kau tahu siapa yang menulisnya?’

 ‘Tercantum di sana.’ Sungai gelap.

 Carlos menyesap tehnya, lama. Aku juga melakukan hal yang sama, lebih cepat, dan dengan kekhawatiran hujan akan segera turun sebab petir kudengar sudah mulai menyambar-nyambar. Carlos nampak tenang, tapi di saat yang sama, seperti bertafakur. Matanya terpejam, lalu ia tarik dan hembuskan napas panjang.

 ‘Nama itu nampak sama dengan nama tokoh di dalam novel. Aku pasti yakin sebetulnya kedua persona itu adalah satu orang yang sama, jika saja ingatanku tentang orang Indonesia yang telah lama jadi kawanku masih terang.

 ‘Aku punya seorang kawan pena. Dia hanya pakai inisial AAA. Kami berkorespondensi melalui surat, sebab pesan singkat melalui internet tidak cocok untuk kami yang senang menunggu.’

 ‘Tapi bagaimana kalian bisa kenal?’

 ‘Facebook. Setelah satu-dua-tiga kali berkontak di sebuah grup, kami putuskan untuk bertukar pikiran mengenai apa saja melalui surat, utamanya buku-buku. Kami juga kerap bertukar buku, meski banyak buku yang kuberikan padanya tidak mampu ditebusnya di bea cukai sebab pajak yang tinggi, dan kemampuan membayarnya yang pas-pasan.’

 ‘Dia mampu membayar jasa pos surat antar benua, namun tak bisa membayar pajak?’

 ‘Ia tak pernah jelas mengatakan padaku apa alasannya. Pembangkangan sipil, mungkin? Entahlah. Keraguanmu itu bisa diperdebatkan sebab mengirim sepucuk surat pastilah murah. Sudah berapa lama? Mungkin duapuluh tahunan, dan sudah delapan tahun ini tak kuterima surat apapun darinya.

 ‘Surat terkahirnya mengatakan, bahwa kondisinya cukup pelik dan sebentar lagi tak memungkinkan untuknya mengirim surat, maka dari itu, dia percayakan sebuah naskah padaku yang akan segera dia kirim.’

 ‘Dan, kau curiga naskah ini adalah miliknya?’ Milik kemurkaan.

 ‘Tepat sekali. Aku membalas suratnya dengan berkata untuk mengirim naskah itu ke surat elektronik saja. Tapi masih saja tak kuterima apapun, setelahnya, hingga kini. Bila naskah ini memang miliknya, maka aku tak bisa berasumsi apapun mengenai ketidaksampaiannya kepadaku. Barangkali, aku harus melihat sandi asma yang mungkin ada.’

 ‘Kau tak tahu nama dia yang sebenarnya?’

 ‘Tidak. Facebook-nya pakai inisial itu juga,’ ungkapnya.

 ‘Kau boleh mengambilnya jika kau mau.’

 ‘Tidak perlu. Aku tak suka naskah itu.’

 ‘Bagaimana kau tahu soal tragedi Bintoro itu?’ tanya Carlos padaku.

 ‘Aku tinggal di dekat sana. Semua orang di Demak tahu soal itu tanpa perlu membaca tulisan Abdul Aziz Afifi.’

 ‘Saksi hidup? Kudengar semuanya diincar dan dibunuh satu persatu.’

 ‘Kami yang hidup sudah ditodong supaya tidak bicara apapun soal itu. Sebagian besar mati sebab ingin bicara, sebagian lain disuruh mati di perang konyol itu, sebagian lain hidup dan menderita bagai iblis.’

 ‘Kau pikir iblis menderita?’

 ‘Tentu. Tuhan membuat mereka begitu.’

 ‘Tapi iblis di seberang gedung itu sepertinya beruntung. Mengapa dia belum mati?’

 ‘Siapa yang mau membunuh orang gila? Kukira, itu sudah jadi bagian milik tuhan.’

 ‘Dan, kau pasti juga sama.’

  Kami menghabiskan mi rebus dalam diam. Air sungai mengalir deras. Teh panas kami sudah berubah dingin. Petir menyambar-nyambar namun hujan tak juga turun. Carlos menawariku untuk menginap, tetapi aku tak hendak merepotkan dan memutuskan untuk pulang tengah malam. Kemerahan.

 Aku pulang di tengah dingin malam yang menusuk bersama bundelan naskah itu di apitan lengan kiriku. Jalanan amat senyap, suara mobil di kejauhan terdengar samar-samar. Seorang lelaki tua lewat ketika aku berhenti di atas jembatan yang menyatukan daratan yang dipisah sungai Thames dan menatap air dingin dan gelap itu. Teriakan manja seorang perempuan, juga tertawaan seorang lelaki terdengar olehku. Entah di mana mereka. Entah pula di mana mayat-mayat itu, yang dihanyutkan di sungai entah-apa-namanya di Sendanganyar itu. Air dingin, hitam, hitam. Sesekali aku merasa murka. Sesekali aku merasa murka meski aku tak yakin apa ini murka atau bukan-murka. Waktu ketika aku berpapasan dengan pria besar penuh omong kosong dan kurasakan ada kebejatan. Itu menyakitiku meski aku tak yakin itu menyakitiku atau bukan-menyakitiku. Aku senang membaca dan aku tahu perasaan. Dan aku tak mampu berbuat apapun kecuali murka dan aku tak yakin apa itu murka sebab mengapa kau berhenti pengecut? aku tetap saja melakukannya seperti apa kata pria besar penuh murka itu bunuh ia dan negara akan berterima kasih kurasakan kebejatan mengalir di tanganku seperti darah yang mengalir di tanganku dan bukan-tanganku tanganmu tubuhmu jiwamu milik bangsa ini dan aku merasa murka meski aku tak bisa melakukan apapun kecuali mereka para pengkhianat mati mengenaskan membasuh tangan seraya mengalirkan mayat-mayat itu yang termasuk mayatnya sepertinya meski aku tidak-yakin aku membunuhnya dan yakin aku membunuhnya dan sepertinya salah satunya memang mayatnya siapa namanya dan aku merasa murka sekaligus tidak-murka dan aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali air hitam kemerahan, kemerahan, dingin, dingin sungai Thames. Aku tidur sebentar dan bangun tengah hari dengan tubuh yang terasa tidak enak semua, lalu kudapati sebuah pesan suara di teleponku: Carlos Brauer, 08.12. Bagaimana dia tahu nomorku? Dia bilang supaya segera ke tempatnya setelah aku bangun dan membawa naskah itu. Dia bilang dia tahu siapa dan apa yang harus dilakukannya atas naskah jelek itu. Aku panaskan air untuk teh dan mandi dengan cepat. Awan-awan hitam itu tidak kunjung sirna. Apa-apaan, sih, dengan cuaca zaman ini. Tapi angin-angin kencang berhembus di jalanan. Ketika bel-bel keempat flat-nya kutekan, tak ada balasan dari suaranya. Kulihat pintu masuk gedung apartemen nampak tidak dikunci dan sedikit terbuka. Aku masuk dan mendapati flat-flat hening, senyap. Orang-orang ini pastilah tidur atau pergi kerja, pikirku. Ketika naik ke lantai flat Carlos Brauer, aku merasakan ada yang salah. Ketika masuk dan mengecek seluruh flat milik Carlos, aku hanya mendapati buku-bukunya, dan juga tubuhnya dengan darah membasahi kasur lipatnya. []

***


Penulis: Achmad Agung Prayoga

Editor: Udin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak