Oleh: Septiana Nur Fiara
Namaku Egy,
siswa kelas XI di salah satu SMAN di kotaku. Sudah menjadi rutinitas di sekolah
bagi kelas XI
selalu diadakan wisata sekolah. Wisata masih kurang 1 bulan lagi dan semua
teman-temanku yang turut serta sudah membayar kecuali aku.
Pada malam itu
tepatnya sebulan sebelum acara, suasana rumah terasa begitu dingin. Walaupun
bukan musim penghujan tetapi malam itu suasana seakan lebih dingin dari
biasanya. Semua orang di dalam rumah tidak ada yang berani bicara. Tidak ada
sepatah kata pun yang keluar dari semua anggota keluargaku.
Bukannya mereka
kecewa ataupun marah kepadaku, tetapi karena semuanya pusing bagaimana cara
membayar iuran wisata sekolahku yang tinggal sebentar lagi.
Pada awalnya
karena tidak tega melihat kondisi keluargaku, aku memutuskan untuk mundur saja
dan tidak ikut study tour tersebut.
Tetapi, sebelum selesai aku berkata, tiba-tiba ayahku langsung membantahnya.
Padahal biasanya ayah orangnya tidak bayak bicara.
“Tidak, apapun yang terjadi kamu
harus tetap ikut!
Sekarang cepat pergi tidur, besok ayah akan bayarkan semua kekurangan biaya dan
akan ayah lunasi,” tegas ayahku.
“Tapi bulan lalu
tabungan ayah sudah habis untuk bayar biaya kuliah Kak Windi, bulan ini juga
ayah gagal panenkan, jikalau tidak ikut karena alasan tidak ada uang, pasti dibolehkan
kok. Ayah udah ngeluarin modal banyak untuk sekolahku dan kuliah kakak, hingga
sehari-harinya ayah dan ibu hanya makan seadanya.” Aku tak bisa hanya diam
melihat keadaan keluarga yang sedang dalam masa pailit.
“Bagaimanapun
caranya, ayah akan usahakan itu, Nak.”
“Mending ayah
nabung lagi untuk biaya kuliah Kak Windi yang wajib dibayarkan setiap
semesternya, bukannya biaya kuliah Kak Windi cukup tinggi untuk orang-orang seperti
kita. Ahh, mengapa selalu saja harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Padahal kata Pak Guru anggaran Negara ini 20% digunakan
untuk pendidikan.” Egy yang merupakan siswa berprestasi di kelas merasakan
kegelisahan perihal pendidikan di Negara ini.
“Sudahlah,
rezeki sudah ada yang ngatur, kita hanya bias berusaha semaksimal mungkin.
Sekarang kamu tidur…” ucap Ayah sembari berjalan ke arah kamar dengan langkai
yang gontai.
Aku pun menuruti
perkataan ayah. Aku langsung meuju kamarku dengan perasaan kacau. Dengan sekuat tenaga kucoba untuk memejamkan
mata dan berusaha untuk tidak memikirkannya. Ditambah lagi suara isak tangis
ibuku di ruang tengah yang terdengar lirih membuatku semakin tidak nyaman untuk
tidur. Aku sangat mengetahui mengapa ibu menangis seperti itu. Namun ayah
bersikeras untuk tetap menyuruhku ikut study
tour. Karena ayah merupakan sosok pria yang tidak akan membiarkan buah
hatinya sedih dan malu karena ketidakmampuannya.
Pada malam itu,
malam yang semakin larut dan menunjukkan pukul 22.30 WIB. Ayah dan ibu masih
terjaga serta berfikir untuk mencari biaya sedang berdiskusi di ruang tengah.
Secara tiba-tiba, pintu rumah diketuk dan sontak itu mengagetkan mereka. Ternyata
salah seorang tetangga datang ke rumah dengan membawa amplop coklat.
“Selamat malam
pak, mohon maaf saya datang malam-malam begini,” ujar tetanggaku.
“Tidak apa-apa,
Pak. Kita semua juga belum tidur kok, mari silahkan masuk,” sambut ayah dengan
ramah.
Selanjutnya
mereka berbincang santai, kemudian tetanggaku menyerahkan amplop coklat yang ia
bawa sambil berkata: “Mohon maaf, Pak. Ini adalah uang pembayaran tanah yang
dijadikan jalan desa beberapa bulan lalu.” Sontak saja itu membuat ayahku
terkejut. Bagaimana tidak, secara tiba-tiba ayah mendapatkan uang yang tidak
pernah terbayang sama sekali dan tiba-tiba diantarkan ke rumah begitu saja.
Beberapa bulan
yang lalu, ayah memang merelakan sebagian kecil tanahnya untuk dijadikan jalan
umum. Akan tetapi dari pihak desa, ternyata tanah tersebut diputuskan untuk
dibeli. Sepulangnya tetanggaku, tiba-tiba ibuku langsung masuk ke dalam kamarku
dan langsung memelukku dengan erat. Ibuku menangis tersedu-sedu karena bahagia
sambil memelukku.
Kemudian ayahku
masuk ke kamarku lalu menyerahkan uang pembayaran study tour kepadaku. Air
mataku pun sudah tak tertahankan lagi. Malam itu aku menangis bahagia dalam
pelukan ibuku serta tak henti-hentinya kuucap rasa syukur di hati dan lisanku.
Terimakasih,
ayah ibuku…
Doa
restumu menguatkan aku…
Takkan
terganti, kasih sayangmu…
Semoga
tuhan selalu memberkati…