Ilustrasi. Keredaksian
Seorang anak kecil
duduk dengan senyuman di pinggir trotoar dekat lampu lalu lintas seraya menggenggam
erat lembaran koran yang cukup tebal dan mengantongi selembar uang lima ribu.
Usianya kira-kira tidak lebih dari tujuh tahun, bila sekolah mungkin duduk di
bangku kelas satu SD. Sayangnya ia tak terlihat mengenakan seragam putih-merah,
justru menggunakan rompi besar berwarna biru lengkap dengan logo salah satu
media yang cukup dikenal di tengah masyarakat Indonesia.
Tak jauh dari
perempatan tersebut, terlihat segerombolan anak kecil yang keluar dari Sekolah
Dasar, menuju ayah-ibunya yang sudah menunggu cukup lama di depan gerbang
sekolah. Dengan riangnya mereka menjumpai orang tua mereka dengan sedikti
celotehan tentang menariknya pembelajaran hari ini atau tentang nakalnya teman
di bangku belakang.
Anak kecil penjual
koran tersebut tiba-tiba terdiam dan memandangi anak-anak sekolah yang mungkin
terdapat salah satu atau beberapa teman sepermainannya. Di sela-sela koran
tersebut ada sebuah majalah anak yang sudah usang, di dalamnya terdapat gambar
beberapa anak menggunakan seragam polisi, guru, tentara dan beberapa macam
profesi lainnya. Ia memandangi gambar tersebut dengan wajah hampa, beberapa
detik kemudian di lemparkannya majalah itu ke dalam tempat sampah di seberang
jalan dan ia kembali berjualan saat lampu lalu lintas berwarna merah.
Bagi sebagian orang
yang beruntung, bisa dengan mudahnya berbicara mengenai impian atau cita-cita
yang hendak dituju di masa depan. Tapi sebagian yang lain, jangankan untuk
bermimpi, makan sehari-hari saja susah. Kita seringkali dengan mudahnya
menyalahkan orang lain atas kemiskinan mereka, tanpa pernah berfikir ada apa
dibalik semua itu? Misalnya kita bicara tentang petani yang sejak pagi hingga
sore bekerja menggarap sawahnya atau para buruh di pabrik yang sebagian besar
hari-harinya digunakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan entah fisik maupun
otak. Mereka sangat rajin bekerja, akan tetapi banyak dari mereka yang hidup
kekurangan. Apakah karena malas atau karena sistem yang menindas?
Sayangnya tulisan ini
hanya akan membahas perihal impian yang setiap orang sebenarnya berkesempatan
untuk membuat hingga mewujudkannya. Akan tetapi sistem pendidikan di Negeri ini
didesain sedemikian rupa sehingga bagi orang-orang yang tidak sekolah (formal)
adalah orang yang tidak terdidik dan orang yang tidak terdidik tidak layak
mendapat pekerjaan yang baik dan memiliki gaji besar. Maka bisa dikatakan
orang-orang yang tidak, terdidik tidak berhak punya impian dan haruslah tetap
seperti itu. Cukup kejam memang diksi kalimat yang digunakan, tapi itulah
faktanya.
Impian sering digambarkan
sebagai suatu ide yang sangat fantastis dan terkadang dianggap tidak mungkin.
Impian pada dasarnya adalah sebuah ide atau pikiran kecil, kemudian menjadi
besar. Dengan memiliki impian membuat hidup menjadi lebih terarah dan bahagia.
Impian pasti dimiliki
oleh setiap orang, begitu juga kita. Baik itu impian-impian kecil maupun impian
besar. Impian itu selalu ada dan melekat di kehidupan setiap orang. Mengalir di
setiap langkah dan waktu. Bahkan ketika kita baru saja membuka mata. Selalu ada
angan dan harapan yang tentu ingin dicapai.
Membuat impian itu
gratis dan tidak seorang pun yang berhak melarangnya. Namun tentu dibalik itu
ada harga yang harus dibayar. Waktu, tekad dan pengorbanan lain yang harus
dilakukan untuk tercapainya sebuah impian itu sendiri.
Mewujudkan impian dapat
membuat kita percaya terhadap diri sendiri sehingga kita tidak ragu membuat
impian-impian yang lain. Namun ketika kegagalan menghampiri, seharusnya kita
jangan putus asa dan coba mewujudkan impian melalui cara dan jalan yang lain.
Selain menginspirasi diri sendiri, mewujudkan impian juga dapat menginspirasi
orang lain.
Impian kita adalah
rencana hidup kita, cobalah untuk mulai merencanakannya dari sekarang agar
hidup tidak terombang-ambing dalam rancangan orang lain. Saat impian terwujud
juga ada rasa bahagia tersendiri.
Sejatinya setiap orang
berhak untuk membuat impian dan merealisasikannya, tapi segelintir orang yang
punya uang dan kekuasaaan seakan mempersulit dan menempatkan banyak orang dalam
kemiskinan yang nyata agar kekuasaannya tetap terjaga dan uangnya terus
melimpah ruah. Meskipun begitu, tetap saja setiap orang punya kekuatan untuk bisa
merealisasikan mimpinya, walau hanya memiliki kesempatan nol koma satu persen.
Banyak orang-orang
kecil menjadi besar lewat impian, mereka bahkan menghabiskan lebih dari separuh
hidupnya untuk menggapai impian itu walau tahu bahwa itu hampir mustahil.
Keyakinan akan mimpi dan kepercayaan akan Tuhan yang maha kuasa membuat impian
itu menjadi menyadi nyata.
Seseorang pernah berkata padaku bahwa “Kau hari ini adalah mimpimu yang kemarin, dan kau di masa depan adalah mimpimu yang sekarang.” Awalnya kalimat itu seperti kata-kata motivasi biasa, tapi ternyata bisa menjadi mantra ajaib yang bisa mengubah hidupku, dengan perjuangan yang tidak mudah tentunya.
Muhamad Syafiq Yunensa
dalam buku Mengapa Kita Rajin Berjalan di Tempat?