Tiga Ekor Provokator

Ilustrasi. Deen

“Bagaimana, Kerbau? Nyamankah kau tinggal di hutan ini?” tanya pimpinan sebuah hutan rimba di sebuah Negeri bernama Land of Down pada seekor kerbau yang sedang berenang.

“Nyaman sekali, Paduka. Di sini juga banyak sekali jenis rumput yang sangat sedap untuk dimakan,” jawab Bofi si kerbau sambil meringis lantaran bingung antara senang atau sedih.

Setelah itu Leo Sang Raja di hutan Land of Down melanjutkan perjalanan berkelilingnya untuk mengawasi secara langsung bagaimana kondisi rakyatnya, atau lebih tepatnya untuk memastikan bahwa mereka tunduk padanya.

Di hutan Land of Down memang menyediakan fasilitas beraneka ragam makanan, namun Raja Singa membatasi rakyatnya untuk memakan makanan yang ada di hutan. Raja Singa juga menetapkan suatu peraturan bahwa siapapun yang tinggal di hutan, harus membayar upeti atas segala fasilitas yang telah mereka nikmati. Setiap jenis hewan sudah ditentukan besaran upeti yang harus mereka bayarkan, misalnya kelompok kerbau yang harus membayar  5 juta gulden dan kelompok tupai yang dikenai biaya 1 juta gulden pertahun, akan tetapi tidak jelas bagaimana perhitungan Raja Singa terkait upeti yang harus dibayarkan serta untuk apa semua uperti itu.

“Bagaimana bisa aku membayar banyak uang tersebut kepada Raja Singa,” gumam Bofi sambil meminum air di sungai.

“Sialan, siapa sih yang nunjuk Singa sebagai Raja Hutan di sini.” ucap Zoro seekor Kuda Nil dengan perasaan jengkel tiba-tiba keluar dari dalam sungai, rupanya ia mendengar keluhan Bofi, kawannya.

Saat Bofi dan Zoro sedang mengobrol seraya meminum air di sungai, datanglah Boni, seekor kelinci yang membawa sebuah ember untuk mengambil air di sungai. Boni melihat Bofi yang sedang murung di sungai ditemani Zoro yang sedang berendam. Boni pikir mungkin ini ada kaitannya dengan tarif upeti yang diadakan di kawasan hutan ini. Seusai Boni mengambil air dari sungai, ia mendekati kedua kawannya.

“Ada apa, kawan? Mengapa kalian terlihat murung?” ucap Boni seraya menepuk kaki Kerbau.

“Begini Bon, sepertinya kami kesusahan dalam membayar upeti ke Raja Singa. Karena nominal yang diminta Raja Singa nggak ngotak sama sekali bagi kami,” ucap Bofi yang sedari tadi murung memikirkan nasibnya.

“Begitu juga aku yang sudah lima tahun menetap di sini, sejak rezim Rusa ditumbangkan oleh rezim Singa, semua sudah berubah. Hutan ini menjadi seperti dijajah, penguasa dengan sikap diktatornya dengan sewenang-wenang terus menindas kita. Beberapa kawan kita yang melawan tangkap, dipenjara, bahkan ada beberapa yang menghilan tak berbekas.” Rupanya Boni si kelinci putih bersih dengan badan yang cukup gemuk itu juga merasakan kegelisahan yang sama.

“Aku disini juga bekerja, mengambil air untuk kukirimkan ke rumah Serigala, meskipun bayarannya tidak sepadan, namun hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tidak bisa hanya mengandalkan penjualan buah-buahan di pasar Lane of Down.” Boni terus mengoceh, barangkali hanya di sungai yang jauh dari keramaian ini lah ia bisa mengeluarkan keluh kesahnya.

Kawasan hutan yang sekarang ini memang sudah tidak sejahtera seperti dulu. Banyak kecurangan yang terjadi di dalamnya, karena penguasa di hutan ini membentuk sebuah oligarki yang sangat kuat antara kelompok singa, harimau, buaya, dan serigala. Tidak ada yang berani melawan kekuasaan mereka, apalagi berurusan dengan Sang Raja Hutan.

“Bagaimana kalau kita mengumpulkan kawan-kawan kita yang memiliki keresahan yang sama secara diam-diam untuk melawan petinggi di hutan?” ucap Zoro yang tiba-tiba keluar dari dalam air, sepertinya ia memiliki sebuah ide yang akan disampaikan kepada dua temannya.

“Sepertinya itu ide bagus, para pendahuku kita juga pernah melakukan hal yang sama saat hutan ini sedang tidak baik-baik saja,” komentar Boni, tiba-tiba telinganya berdiri tegak pertanda ada ide yang masuk.

“Bagaimana menurutmu, Bof?”

“Aku masih ragu, kawan. Mereka berjumlah banyak dan kuat, kita bisa apa?” Bofi justru semakin murung.

“Hei kau hewan besar penakut!” terdengar suara teriakan dari tanah yang ada di dekat kaki Bofi.

Bofi menengok ke arah kakinya sembari mencari sumber suara.

“Iya, aku memanggilmu!” Ternyata suara tersebut datang daring seekor semut merah. “Tau kau mengapa bertahun-tahun kita dijajah? Itu karena banyak orang sepertimu. Sebaik-baik perjuangan adalah perlawanan, dan perlawanan takkan pernah hadir tanpa keberanian, mau anak cucumu nanti hidup dalam keadaan yang sangat terjajah?”

“Mereka kuat, mereka pintar dan kejam. Tapi kita punya api, api yang membara dalam diri kita masing-masing, jika api dalam diri setiap binatang yang ada di hutan ini disatukan, kita bisa memanggang mereka! Bergeraklah! Melawanlah! Bangun konsolidasi, lalu matangkan rencana hingga aksi, itu lebih baik dari pada kau mengeluh di sini. Kumpulkan semua jenis binatang yang ada, bangun serangan dari tanah, pohon, air, dan udara, karena itu semua adalah bagian dari kehidupan kita yang harus kita jaga bersama!” Semut merah itu langsung berlalu begitu saja, menyisakan ketiga sahabat karib yang hanya bisa melongo melihatnya pergi.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Malam harinya secara diam-diam berbagai jenis binatang berkumpul di gua yang sangat terpencil atas undangan dari Zoro. Bofi yang awalnya ragu, setelah diperingati oleh semut merah yang tak dikenalnya, kini ia menjadi salah seorang yang menggerakkan konsolidasi dadakan ini. Beruntung respons dari berbagai jenis binatang yang hadir sangat baik, karena mereka juga merasakan kegelisahan yang sama.

Beberapa hari kemudian tepat di depan istana Raja Leo yang berada tepat di tengah pusat kota, para rakyat hutan sudah berkumpul dengan dipenuhi aura kemarahan yang tinggi.

“Bagaimana bisa kita terus bertahan hidup di hutan ini!! Sedangkan pengeluaran upeti yang kita bayarkan, tidak diimbangi dengan fasilitas dan makanan yang cukup,” ucap Boni mengawali provokasi di siang hari yang sangat panas, sepanas kobaran api dalam diri setiap binatang yang hadir.

“Kami memang kamerad biasa yang tak punya wewenang mengurusi pemerintahan, tapi itu bukan berarti kalian bisa sewenang-wenang terhadap kami!” ucap Bofi yang tak kalah serunya.

Keadaan di pusat kota tidak digubris sama sekali oleh rezim Singa. Zoro menggerakkan para kamerad demonstran yang hadir untuk menjebol gerbang istana yang sangat besar, serta dijaga oleh bangsa serigala dan harimau. Dengan menggunakan senjata yang terbuat dari gading gajah dan tameng yang terbuat dari tempurung hasil rampasan kepada beberapa gajah dan kura-kura yang tak sanggup membayar upeti.

Namun para demonstran yang hadir tak sedikit pun gentar menghadapinya, karena persiapan mereka sangatlah matang dan melibatkan banyak jenis binatang yang ada di hutan termasuk kawanan burung yang sudah dipersiapkan untuk menyerang dari udara, dan beberapa binatang tanah yang bisa melubangi tanah seperti tikus mondong dan cacing tanah. Target utama adalah menjebol gerbang istana lalu menguasai istana yang dulu juga pernah diserang kawanan singa sehingga mereka bisa berkuasa.

Ditengah kericuhan yang terjadi di istana gerbang utama berhasil dibuka dari dalam oleh kawanan burung yang bisa dengan mudah terbang melintasinya secara diam-diam. Suasana memanas ketika kedua belah kubu saling berhadapan, dan tak lama kemudian pertempuran yang sengit pun terjadi. Berapa jenis hewan seperti domba dengan mudahnya ditumbangkan oleh serigala, beberapa kuda yang melihat peristiwa itu langsung menyerang para serigala dengan tanpa ketakutan sedikitpun.

Sesuai hasil konsolidasi, semua demonstran yang hadir harus bisa mengantarkan beberapa perwakilan untuk masuk ke dalam istana menemui Sang Raja. Di tengah situasi yang mencekam Bofi selaku salah satu perwakilan, sebenarnya enggan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang bertempur, tapi tak ada pilihan lain. Perlahan setahap demi setahap mereka berhasil berjalan melewati barisan penjaga yang sedang sibuk bertarung dengan berbagai jenis binatang, kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik, hingga akhirnya mereka bisa bertatapan dengan raja hutan.

“Bukankah kau kerbau yang minggu kemarin bertemu denganku? Rupanya kini kau sudah berani menantangku. Sayangnya kini kau sendirian dan tak berdaya.”

Bofi yang menyadari posisinya sendirian di hadapan Sang Raja yang memiliki beberapa pengawal membuat tubuhnya bergetar namun ia masih berusaha tegar dan tetap tegak berdiri dengan gagah mengingat perjuangan kawan-kawannya sampai sejauh ini. Sang Raja memberi aba-aba pada pengawal untuk menerkam Bofi. Tapi tiba-tiba…

“Tunggu dulu Yang Mulia beserta para pengawal, nggak seru ah kalo cuam Bofi doang yang kalian incar,” suara Boni yang berjalan dengan tenangnya membuat semua perhatian para binatang yang ada di istana mengarah padanya.”

“Eitss… Masih ada kejutan lagi. Biar kami ajarkan apa arti dari kata perlawanan pada kalian…” lanjut Boni seraya bersender pada kaki Bofi.

Tiba-tiba dari segala penjuru pintu masuk ke istana hingga jendela dan atap, kini sudah dipenuhi oleh berbagai jenis binatang. Rupanya mereka berhasil menembus barisan pengawal yang berjaga di halaman istana. Kini justru posisi Sang Raja yang terjepit.

“Posisimu sudah terjepit Yang Mulia, sayangnya kami tak sekejam dirimu yang selalu mengintimidasi, membunuh, bahkan menghilangkan orang-orang yang mengganggu kekuasaanmu. Kini, kami memberimu pilihan, untuk turun dari singgasanmu atau terpaksa kami turunkan…” Zoro bicara dengan sangat tenang, padahal ada luka bekas cakaran dan gigitan di sekujur tubuhnya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Pasca perlawanan rakyat binatang, Land of Down kini menjadi negeri yang damai, adill dan makmur seperti dulu. Kekuasaan diserahkan kepada kelompok rusa yang dinilai arif dan bijaksana, serta bisa memimpin Land of Down menjadi lebih baik lagi.

Di balik semua itu, ada tiga ekor provokator yang menjadi motor penggerak di awal. Hanya bermodalkan keberanian untuk melawan dan rencana yang matang, disertai dengan propaganda yang massif dan terorganisir. Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi, dan barangkali cara satu-satunya untuk mewujudkan keadilan adalah perlawanan, seperti dalam buku Catatan Sang Berandal yang pernah dibaca Bofi, bertuliskan “Bila diam adalah emas, mengapa yang diam selalu tertindas?” maka Bofi memilih untuk melawan daripada diam.



Penulis : Agus (Bukan) Mulyadi 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak