Urgensi Media dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme

 

Dok. Edukasi

lpmedukasi.com - Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah selenggarakan Talkshow Ngopi Coi (Ngobrol Pintar Cara Orang Indonesia) yang bertempat di Hotel Santika, Kota Semarang. Acara yang mengusung tema Pencegahan Radikalisme dan Terorisme melalui FKPT ini membahas seputar bidang media massa, hukum, dan humas. Acara ini dihadiri oleh Ketua Dewan Pers, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), anggota Polri, Babinsa, dan awak media pada Selasa (27/10).

Diawali dengan diskusi yang dipandu oleh host dari Radio Triwijaya FM, membahas soal perbedaan radikalisme dan terorisme. Dalam paparan Muhammad Lutfi, Kasi Pemulihan Korban menjelaskan bahwa radikalisme berarti paham atau pandangan. "Salah satu ciri radikalisme adalah anti NKRI, anti pancasila, intoleran, dan benar sendiri" jelasnya. Sedangkan terorisme adalah perbuatan kekerasan dan membuat teror. "Biasanya korbannya masal, dan menghancurkan fasilitas publik. Biasanya juga berupa ancaman" tangkasnya.

Sukendar, selaku Kabid Media, Hukum, dan Humas dalam FKPT ada berbagai bidang diantaranya penelitian, pemuda, agama, dan perempuan. Menurut Sukendar, adanya bidang perempuan ini karena keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme adalah trend baru. "Karena kurangnya advokasi kepada perempuan yang seringkali disamakan dengan fitnah dan harus berfitrah kepada laki-laki dengan taat kepada suami. Sehingga mau disuruh apa saja termasuk dibaiat menjadi anggota ISIS dengan dijanjikan perhatian dan surga" ungkapnya. 

Fungsi media dalam meliput terorisme memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk perspektif masyarakat. "Misi terorisme membuat orang takut, cemas, dan melumpuhkan ekonomi. Meliput terorisme, seharusnya berarti ikut memerangi terorisme" jelas Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo.

Ia juga menambahkan bila persebaran paham radikalisme ini banyak beredar melalui media sosial dengan konten negatif dan hoax. "Kita harus menyebarkan pesan atau konten perdamaian, apalagi pada generasi milenial. Bila mendapat berita, saring dahulu kebenarannya melalui platform https://stophoax.id" imbuhnya. 

Pencegahan terorisme melalui media dapat dilakukan dengan tradisi membaca dan mengkonfirmasi ulang kebenarannya. "Generasi muda memiliki kemampuan digital sangat kuat, tetapi lemah di etika dan hukum. Sedang yang tua, paham etika dan hukum, tetapi digital kurang. Hoax dibuat oleh orang pintar tapi jahat, sedangkan yang menyebarkan adalah orang baik tapi bodoh" ungkap Yosep dalam paparannya.

Selain itu, menurutnya penyebab orang melakukan aksi terorisme  bukanlah melalui agama. "Semua penganut agama apapun bisa menjadi teroris, tetapi tidak ada satupun agama yg mengajarkan menjadi teroris" ungkapnya. Stereotip teroris yang berjanggut, bercelana cingkrang, bercadar, dibuat oleh media. "Hanya karena media menginformasikan hal tersebut, kita tidak boleh menghakimi stereotip itu kepada orang lain" imbuhnya. 

Ia juga berpesan agar memaksimalkan fungsi RT RW supaya terjalin komunikasi yang baik. "Tetangga memiliki fungsi pengingat dan untuk keamanan lingkungan. Karena sekarang sudah jarang warga yang memiliki tamu 24 jam lapor ke RT atau RW maka, itu harus dipatuhi kembali" pungkasnya.


Penulis: Asifa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak