Pernikahan Dini: Bukan Solusi Segala Masalah

Dok. Internet


Menikah dalam budaya masyarakat Indonesia selalu dianggap sebagai hal penting sekaligus cita-cita jika sudah dewasa nanti. Seolah menikah adalah suatu kewajiban. Jika tak kunjung dilaksanakan pada usia umumnya, maka sanksi sosial akan dijatuhkan. Perempuan yang tak kunjung menikah, tak jarang akan dihardik dengan berbagai ujaran. Kapan menikah? Nanti sulit punya anak kalau menikah tua. Ya begitu kalau sekolah tinggi-tinggi, laki-laki yang mau mendekati mikir dulu dua kali.

Tak bisa ditepis begitu saja, perempuan memang dihadapkan dengan kisah-kisah yang penuh akan konstruk sosial. Mulai dari cerita, dongeng sampai sinetron dan film. Dongeng seperti Bawang Merah Bawang Putih, Putri Salju & Tujuh Kurcaci, dan Cinderella, seluruh ceritanya berakhir dengan kabahagiaan pernikahan. Hal serupa juga terjadi di beberapa sinetron dan film. Menikah seolah menjadi solusi segala permasalahan perempuan. Belum lagi konstruksi umur perempuan yang masih dipandang sebagai batasan untuk segera melakukan pernikahan.

Kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan adalah tiga isu penting yang seringkali menjadi latar belakang terjadinya pernikahan dini dan kekerasan seksual. Kesehatan reproduksi akan menjadi permasalahan yang penting diperhatikan ketika pernikahan anak terjadi. Utamanya mengenai kesiapan organ reproduksi perempuan. Jika perempuan melahirkan di bawah usia yang dianjurkan, maka perempuan akan rentan mengalami kecemasan saat hamil, kesehatan menurun sampai kelahiran bayi prematur. Bahkan risiko kematian pada ibu.

Menyoal pendidikan, pada kasus pernikahan anak yang disebabkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), seringkali sekolah mengeluarkan siswa yang kedapatan mengalami KTD. Juga pada kasus lain, siswa memilih keluar sekolah dengan sendirinya sebab merasa malu untuk melanjutkan pendidikannya. Ada juga pernikahan sebagai solusi dari akses pendidikan yang sulit. Semisal yang terjadi pada masyarakat yang jauh dari akses pendidikan dan kondisi ekonomi yang terbilang rendah. Sehingga menimbulkan keputusan orang tua untuk menikahkan anaknya daripada membiarkan mereka melanjutkan studinya. Walaupun sang anak menolak untuk menikah, ia tidak memiliki pilihan lain. Penyebab anak perempuan lebih memilih menikah pada usia muda adalah karena kurangnya panutan di sekelilingnya untuk dijadikan contoh.

Termasuk stereotip oleh individu sendiri, sekolah yang dianggap sebagai beban, menimbulkan prasangka bahwa sekolah itu memaksa untuk berpikir. Apabila mendapati berbagai tugas yang dianggap menyulitkan, tak jarang ada pendapat lebih baik menikah dari pada sekolah. Sebab tantangan terbesar bagi perempuan dari godaan menikah adalah lingkungan yang menganggap hidup adalah arena balapan. Mereka saling kejar-mengejar siapa yang lulus duluan, nikah duluan, hamil duluan, dan seterusnya. Terkadang, kita larut dalam balapan tanpa menikmati esensi kehidupan.

Pada ranah pekerjaan, banyak dari perempuan yang mentok sebagai ibu rumah tangga saja. Apalagi jika anak perempuan yang sudah terikat pernikahan dini. Ketergantungan finansial yang tinggi kepada kepala rumah tangga, membuat perempuan lebih mudah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sehingga perempuan akan sulit lepas dari sang suami dan menganggap adegan demi adegan kekerasan sebagai bumbu rumah tangga.  

Seringkali pandangan atau penafsiran agama yang tidak tepat menjadi salah satu faktor pendorong pernikahan anak. Anggapan bahwa perempuan sudah mengalami menstruasi, ia sudah pantas untuk dinikahkan. Anggapan pernikahan dini sebagai jalan untuk mengurangi angka perzinaan. Pandangan-pandangan ini keliru karena tidak ada korelasi antara usia pernikahan dengan perzinaan. Padahal berapapun usia seseorang, kemungkinan bagi manusia untuk melakukan perzinaan itu sama besarnya. Bahkan hal tersebut seolah menjadikan pernikahan hanya sebatas pada hubungan seksual.

Pernikahan anak memberi dampak yang luar biasa buruk terutama pada perempuan. Pernikahan anak merampas hak anak perempuan atas pendidikan dan kesehatan. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, maka tentu saja tidak akan berdampak baik bagi pembangunan bangsa dan negara karena anak perempuan, sama halnya dengan anak laki-laki. Keduanya sama-sama memiliki potensi dan kemampuan yang sama besarnya sebagai generasi penerus bangsa.

Advokasi hukum tentu diperlukan untuk mengurangi permasalahan tersebut. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan. Langkah bijak pencetusan RUU PKS merupakan pilihan tepat untuk mengakomodir hak-hak korban secara komprehensif. Apalagi RUU PKS ini memuat 9 bentuk kekerasan seksual. Namun saya menyayangkan mengapa RUU yang diusulkan sejak tahun 2015, masuk program legislatif nasional prioritas 2016, dan ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR tahun 2017 ini, nasibnya masih di ambang pertimbangan hingga 2020 kini.

Terlepas dari RUU yang entah kapan disahkan, terdapat UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Salah satu poinnya adalah pasal 7 yang menyebutkan batasan usia menikah untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Namun demikian kerap terjadi pernikahan di bawah ketetapan usia tersebut. Jalur persidangan pun terpaksa diambil sebab alasan tertentu.

Anak perempuan juga perlu dilibatkan terhadap setiap keputusan yang menyangkut dirinya, termasuk untuk masa depan dan pernikahannya. Peran komunitas dalam mengubah norma sosial tentang pernikahan anak juga perlu digiatkan. Anak perempuan yang telah terlanjur menjalani pernikahan pun harus mendapatkan perhatian. Akses pendidikan senantiasa harus diberikan.

Penting bagi anak perempuan, remaja perempuan, maupun para ibu untuk mendapatkan bekal pendidikan yang baik karena melalui pendidikanlah mereka dapat memutus rantai tradisi pernikahan anak yang dipaksakan pada mereka. Entah kemudian pendidikan itu dapat digunakan untuk memutuskan masa depannya sendiri atau digunakan untuk memberikan pendidikan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya untuk menghentikan pernikahan anak, yang jelas pendidikan dapat menjadi gerbang bagi perempuan untuk menjadi agen sosial yang melawan pernikahan anak.


Penulis : Sheila Cantika Budi (Jurusan Hukum Keluarga Islam)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak