KKL: Kolo-Kolo Lungo; Sebuah Kritik Atas Hilangnya Esensi


Dok. Internet

Tulisan ini tercipta atas ketidaksengajaan berdiskusi kecil di kucingan dengan salah satu adik tingkat yang sebentar lagi akan melaksanakan ‘kewajiban’ Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Adik tingkat ini bertanya kepada kepada saya: “Mas, Kok kita harus bayar lagi untuk KKL? Padahal di dalam UKT sudah ada anggarannya.” Dari situlah diskusi mengalir hingga larut malam. Dan saya akan coba menuliskan sebuah opini agar mahasiswa tahu seluk-beluk KKL.

Apa sebenarnya KKL itu?

Saya akan mengawali dengan pertanyaan: apa sebenarnya KKL itu? Saya yakin mahasiswa semester lanjut sudah merasakan nikmatnya KKL: liburan luar kota, tidur di hotel berbintang, mengunjungi tempat wisata dan membeli oleh-oleh tentunya. Bagi kalian mahasiswa baru, tenang saja. Kalian semua akan merasakan hal yang sama, kecuali jurusan tertentu yang berbeda pelaksanaan KKL-nya.

Secara garis besar, KKL merupakan sebuah kegiatan akademik yang diadakan jurusan untuk membekali mahasiswa dengan pengalaman, wawasan melalui pengamatan dan observasi pada tempat tertentu, misalnya instansi, industri dan semacamnya.
Selain untuk membekali mahasiswa tentang masyarakat atau dunia lapangan kerja, melalui KKL, mahasiswa akan melihat berbagai masalah serta cara menghadapi masalah tersebut dimana terkadang tidak kita jumpai dibangku kelas perkuliahan yang nyaman penuh dengan AC (Angin Cuek).

Apa esensi KKL?

Dulu, ketika saya tahu bahwa jurusan akan melaksanakan KKL, saya berekspetasi sangat tinggi. Sebab saya adalah anak Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, ekspetasi saya adalah, dalam pelaksanaan KKL nanti, saya akan mengunjungi Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), dan diakhiri dengan mengunjungi salah satu tempat wisata serta pusat oleh-oleh.

Syahdan, ekspetasiku jauh dari bintang di langit yang berwarna biru. Dengan biaya satu juta rupiah hasil banting tulang orang tua untuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang saya bayarkan tiap semester, kegiatan KKL yang saya ikuti hanya mengunjungi pondok pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, objek wisata Tangkuban Perahu, pusat oleh-oleh dan diakhiri dengan ziarah di makam Sunan Gunung Jati. Ya. Ada sedikit rasa menyesal.

Saya lebih suka KKL ini disebut dengan studi banding/study tour atau, lebih ekstrim lagi, saya sebut dengan Kunjungan Industri. Pasalnya, jika menilik kembali esensi dari nama kegiatan ini yaitu Kuliah Kerja Lapangan, maka yang semestinya dilakukan mahasiswa adalah mengamati dan mencatat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka dapat di bangku perkuliahan. Sehingga, seusai KKL mahasiswa dapat merumuskan masalah, kemudian memberi solusi atas permasalahan tersebut. Hasil dari pengamatan itu bisa berbentuk laporan tertulis atau lisan.

Namun dapat disayangkan tatkala laporan KKL hanya berbetuk tulisan saja. Saya mengakui bahwa mahasiswa sekarang miskin literasi, termasuk saya. Saat diminta membuat laporan, tak sedikit yang hanya copy paste dari internet saja. Saya lebih mengapresiasi kalau ada jurusan yang memberikan tugas laporan KKL dengan gaya yang berbeda, semisal dengan membuat vlog, wawancara, atau apapun yang bersifat menggali data dan memberikan informasi.

Hemat penulis, penyelenggara KKL telah abai dengan esensi dari KKL ini. Tiada tujuan yang berarti bagi mahasiswa kecuali liburan, mencari suasana baru, dan menjauh dari hingar-bingar kota Semarang. KKL yang seharusnya sebagai wahana observasi dan mencari wawasan, kini sudah begeser menjadi euforia belaka, mengugurkan kewajiban jurusan membuat kegiatan.

KKL bentuk komersialisasi pendidikan?

Berdasarkan pengalaman yang saya rasakan ketika usai melaksanakan KKL, gamblang saya akan katakan, bahwa KKL adalah salah satu bentuk komersialisasi pendidikan. Bukan tanpa alasan saya mengatakan demikian. KKL hanya sebuah proyek jurusan semata dengan dalih kepentingan akademik.

Alasan saya menganggap bahwa KKL ini adalah sebuah bentuk komersialisasi pendidikan adalah biaya tambahan yang harus saya bayar. Mari kita buka kembali buku panduan akademik yang kita dapat sewaktu PBAK. Saya akan bertanya: apakah KKL ini masuk dalam Sistem Kredit Semester (SKS)? Jika di jurusan saya tidak ada, entah di jurusan lain. Mengapa saya harus membayar tambahan biaya?

Dalam rancangan anggaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) tiap semester sudah ada biaya yang dikhususkan untuk biaya KKL. Jurusan saya dianggarkan sejumlah satu juta rupiah, entah di jurusan lain. Saya kira dengan satu juta rupiah sudah sangat cukup untuk sekadar liburan dan mengunjungi satu atau dua instansi. Tapi, setelah uang itu cair ternyata tidak utuh satu juta, melainkan hanya sejumlah enam ratus lima puluh ribu rupiah saja. Lalu, ke mana larinya sisa uang tersebut? Kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Lalu, apa yang dijanjikan setelah pulang dari KKL selain badan capek, pegal-pegal dan kebahagiaan yang semu? Saya rasa tidak ada. Jika jurusan mengancam bahwa ketika kita tidak mengikuti KKL, tidak dapat selembar sertifikiat untuk syarat ujian komprehensif atau sebagai syarat kelulusan nanti berarti kita telah dibodohi.

Menilik lagi buku panduan akademik, disebutkan bahwa beban SKS mata kuliah KKL menjadi satu kesatuan dengan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Dengan begitu, sertifikat KKL sebenarnya tidak berarti sama sekali dan tidak ada gunanya. Hal ini berbanding dengan sertifikat PPL sebagai bukti kita telah melaksanakan praktik yang benar-benar praktik. Meski begitu, jurusan akan tetap mengada-ada. Mereka membuat aturan sendiri bahwa ada ketentuan bahwa sertifikat KKL wajib didapatkan sebagai syarat kelulusan. Sungguh maha benar jurusan dengan berbagai firmannya.

Sebelum mengakhiri tulisan atau lebih cocok disebut curhatan ini saya akan menyampaikan bahwa diri saya bukan tidak setuju dengan adanya pelaksanaan KKL. Saya lebih senang jika birokrasi sadar akan esensi dari KKL yang telah kehilangan esensinya.

Sudahlah Pak, Buk Dosen, apa njenengan tidak bosan setiap tahun berkunjung keluar kota? Bukankah njenengan juga bisa pergi ibadah haji atau umrah setiap tahun?

Bukan juga uang orang tua saya tidak mau keluar uang untuk membayar KKL, hanya saja, jangan jadikan mahasiswa seperti kerbau yang diperintah ke sana-ke mari, membuat regulasi tanpa basa-basi.

KKL bukan sekedar Kolo-kolo Lungo saja Pak, Buk.


Penulis: Moh. Aji Firman, mahasiswa FITK

1 Komentar

  1. Mm... Besok pas jadi guru disekolah/madrasah, kita bakal kaya dosen yang seperti d tulisan apa nggak ya?

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak