Doc. Internet |
Hari
lahir RA Kartini yang kini dirayakan setiap tanggal 21 April dianggap momentum
penting bagi emansipasi wanita Indonesia. Pasalnya, gadis keturunan ningrat
Jawa ini membawa sejarah penting bagi peran wanita di Indonesia.
Sejarah hidupnya yang begitu panjang dan pelik, hidup
dibawah tekanan dan paksaan, namun tak menyurutkan semangatnya untuk mendapatkan kemerdekaan yang
beliau inginkan. Kita bisa
membaca buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal berjudul
“Door Duistermis tox Licht, (Habis Gelap Terbitlah Terang)".
Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat - sahabatnya di negeri Belanda itu
kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk
melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong
semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan
hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi
dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan
Rembang.
Perempuan Indonesia Masa
Kini
Dewasa kini semangat
perjuangan RA Kartini telah menurun kepada perempuan-perempuan di Indonesia. Walaupun beliau sudah meninggal, namun karyanya, semangatnya untuk
memperjuangkan hak warga perempuan secara sadar tak pernah mati. Banyak kita
temui perempuan pejuang yang pada dasarnya sama- sama memperjuangkan hak mereka
untuk kemakmuran rakyat.
Risma, Susi Pudjiastuti,
Khofifah, Megawati adalah gambaran kecil dari perempuan pejuang di Indonesia
yang duduk di wilayah politik. Namun kita harus mengenal pula, masih ada banyak
perempuan pejuang masa kini yang berjuang di akar rumput. Seperti halnya
almarhum Bu Padmi, salah satu perempuan pejuang yang disebut-sebut sebagai
salah satu Kartini Kendeng .
Perjuangan beliau sebagai
salah satu petani Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Ia menyuarakan haknya
sebagai petani, kemudia ia juga merupakan salah satu peserta aksi yang rela menyemen
kakinya untuk menolak pendirian pabrik Semen Indonesia. Namun ia meninggal
dunia pada Maret 2018. Dan sayangnya,
suaranya bak dihempas oleh angin dan terlupakan begitu saja. Ia menjadi salah
satu gambaran kecil suara-suara perempuan yang perjuangannya hanya dianggap
sebelah mata oleh pemerintah.
Namun disisi lain, ada pula
sosok Nadjwa Shihab, Shinta Nuriyah Wahid, Alissa Wahid dan sosok perempuan
Indonesia lain yang berjuang di garis wilayah perjuangan melalui pemikira-pemikirannya.
Perempuan Indonesia semakin berdikari alias mampu berdiri di kaki sendiri. Tak ada
batasan lagi bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasi, pemikiran dan perjuangannya
untuk menjadikan Indonesia lebih baik. [ Fatim ]