Abu Rahmat (tengah) sedang menyampaikan materi tentang tafsir Al Ibriz, Selasa (20/2) (Foto: Edu-On/Riz) |
Semarang, EdukasiOnline-- Sudah menjadi
budaya akademisi untuk selalu berdiskusi, seperti halnya “Diskusi Anggoro Manis” yang merupakan forum
kajian yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo Semarang.
Pada awal forum dibuka,
M. Rikza Chamami, Salah satu pembicara pada Diskusi Anggoro Manis mengatakan,
diskusi ini akan berlangsung secara rutin pada hari Selasa Legi. “Kami mempersilahkan
teman-teman untuk bisa hadir dalam setiap diskusi yang kami adakan,” tuturnya
kepada peserta yang hadir dalam Seri diskusi anggoro manis membedah kitab pegon
karya KH. Bisri Musthofa di Meeting Room LP2M UIN Walisongo, Selasa (20/2).
Selain itu, Anasom, Ketua Pusat Kajian
Islam dan Budaya Jawa juga
menjelaskan terkait arti dari Anggoro Manis yakni Selasa Legi. “Itulah kenapa diberi nama Anggoro Manis,”ujarnya.
Kiai Bisri dan Tafsir
Al-Ibriz
Banyak kiai zaman dulu yang produktif
menulis salah satunya KH Bisri Musthofa. Sosoknya yang lengkap dengan puluhan
karya-karyanya menarik untuk diperbincangkan. Salah satu karyanya adalah Tafsir
Al-Ibriz yang sangat populer. Menurut Abu Rahmat, kitab ini ditujukan kepada
orang-orang kampung. "Tersebar di Jawa dan Jiran," jelasnya.
Lebih lanjut, Abu Rahmat
mengatakan bahwa pada masanya, tidak ada yang mampu
menerjemahkan kitab populer ini dalam bahasa Indonesia. "Para penerjemah
selalu gagal, meski sekarang sudah ada terjemahannya," tandasnya.
Ia juga sempat memperkenalkan kelebihan KH Bisri Musthofa. Selain
pandai menulis dan menjadi budayawan, beliau juga seorang orator. Kemudian, Kelebihan itu diwariskan pada penerusnya. "Adib Bisri,
mewarisi kemampuan menulisnya, Kholil Bisri dibagian oratornya, dan Gus Mus
budayawanannya," jelasnya lebih rinci.
Walisongo dalam
Tarikhul Auliya
Sejarah walisongo selalu mengundang tanya. Anasom menjelaskan, keberadaan Islam Jawa sangat dipengaruhi
oleh Cempa, yakni suatu kerajaan yang berada di Vietnam. "Mengaitkan Cempa dengan Jawa mengenai kultur budayanya," ungkapnya.
Selain itu, ia juga
menjelaskan bahwa seringkali terjadi perbedaan dalam penyeleksian sejarah.
“Sejarah akan selalu berkembang dari mas ke masa melalui manuskrip-manuskrip
yang ditemukan,” ujarnya.
Hal ini ia buktikan dalam
hasil temuannya mengenai Haji Ustman dan Ustman Haji dalam sejarah walisongo.
“Dalam kitab ini menyebutkan bahwa keduanya berbeda, sedangkan ketika saya
bertanya pada habib Luthfi, itu adalah satu orang,” tuturnya.
Nasihat dalam Kitab
Ngudi Susilo
Dipembahasan terakhir, Rikza mencoba
mencuplik bab 7 dan bab 8 dalam kitab Ngudi Susilo. "Bab ini menasehati
terkait sikap perilaku dan cita-cita,"tegasnya.
Dosen Islam dan Budaya
Jawa ini memaparkan ceritanya dengan realita orang-orang yang menginginkan negara
khilafah. “Perkumpulan
itu musti dinasihati dengan kitab Ngudi Susilo,” tuturnya.
Hal ini menurutnya dibutuhkan
kilas balik sejarah bahwa Indonesia terkenal dengan lmam Bonjol dan Pangeran
Diponegoro sebagai tokoh yang mempunyai
ciri khas keindonesiaan. ”Semua diceritakan K.H Bisri Mustofa dalam kitab
ini,"terangnya.
Selain itu, ia juga
mengatakan dalam salah satu syiir ngudi susilo yang menyinggung tentang
cita-cita itu dapat diraih jika terdapat orang-orang penting pada setiap
posisinya. “Perlu ada pemimpin, hakim, dokter, orang yang pintar ilmu dan
agama,” Pungkasnya. (Edu-On/Ris, Riz)
Tags
Berita