Doc. AJI Solo |
Semarang, EdukasiOnline—Berdasarkan informasi yang
didapat tim redaksi EdukasiOnline dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia, Jum’at (9/2). AJI bersama Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengusulkan Hari Pers Nasional (HPN)
direvisi dari 9 Februari menjadi 23 September. AJI dan IJTI adalah dua dari
tiga organisasi wartawan yang diakui dan menjadi pendukung Dewan Pers. Satu
lainnya adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan, telah
mengirimkan surat terkait revisi HPN ini kepada Dewan Pers pada 23 Januari
lalu. “HPN sekarang, 9 Februari diambil dari hari kelahiran PWI pada 9 Februari 1946. Regulasi pengesanan
dijadikan HPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985,”ujarnya.
Organisasi Tunggal Orba
Ia menjelaskan bahwa, Presiden Soeharto (era Orde Baru)
mengesahkan setelah diusulkan Dewan Pers yang waktu itu hanya memiliki
organisasi wartawan tunggal, PWI, dengan ketua Dewan Pers adalah Menteri
Penerangan Harmoko. “Bagi PWI maupun Dewan Pers bagaikan di bawah ketiak pemerintah,”tandasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan dalam kutipan yang tim redaksi
terima, bahwa era telah berganti, Reformasi di Indonesia telah melahirkan
undang-undang pers baru, yaitu Undang-Undang Pers yang menempatkan posisi
wartawan dan pers semestinya, independen dan bukan berada di bawah ketiak
penguasa. “Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers yang disahkan pada era
Presiden BJ Habibie 23 September 1999 telah menciptakan pers bebas dalam
sejarah Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa organisasi wartawan
tunggal PWI telah diganti dengan kebebasan wartawan mendirikan organisasi, lalu
terverifikasi AJI dan IJTI di Dewan Pers. “Eh, lucunya HPN masih memakai hari
kelahiran PWI yang selama Orde Baru menjadi bagian pemerintah yang ikut
memberangus kebebasan pers dengan puncak peristiwa pemberedalan TEMPO, Detik,
dan Editor pada 1994, Peristiwa ini pemicu lahirnya AJI,” katanya.
Ia menambahkan, perayaan HPN pasca Orba pun tak ubahnya dari
zaman Orba, termasuk hari ini dirayakan di Padang. “Entah kalangan pers yang
merayakan entah pemerintah. Yang pasti lembaga-lembaga pemerintah mengeluarkan
uang atau dikerahkan untuk membuat program HPN. Masalah jurnalis dan pers
hampir tidak dibahas, terutama pada isu kebebasan pers, independensi,
kesejahteraan,” tuturnya.
Revisi menjadi 23 September
Manan menyampaikan bahwa hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP)
yang sudah dua tahun diadakan Dewan Pers memiliki skor rendah pada kebebasan
pers di Indonesia dari cengkeraman pemerintah daerah. “ Terutama pada
ketergantungan pada apa yang disebut "pariwara pemda" di kanal
berita,”ujarnya.
Manan juga berharap tahun depan HPN bisa dirayakan pada 23
September, hari kelahiran pers sebenarnya di Indonesia, yaitu pers yang
independen, yang berada bukan di bawah ketiak pemerintah dari pusat hingga
daerah. “HPN yang dirayakan bersama oleh kalangan pers, baik jurnalis maupun
perusahaan dan juga didanai dengan patungan bersama,”harapnya.
Selain itu, ia berharap para pesertanya dari daerah
masing-masing juga dengan dana sendiri, bukan meminta kepada pejabat daerah
yang jelas sangat bertentangan dengan independensi dan juga berpotensi
penyelewengan anggaran. “Sebagai jurnalis saya akan siap mendanai HPN masa
depan seperti ini, mungkin Rp25 ribu,mungkin juga Rp500 ribu. Kalikan jika
semua jurnalis sepakat dan perusahaan pers (yang sebagian sangat kaya itu) juga
sepakat,”tandasnya.
Dengan begitu, ia berharap akan muncul HPN yang mandiri yang
memperlihatkan sosok jurnalis dan pers independen. Pers Indonesia modern yang
lepas dari bayang-bayang era otoritarianisme. “Jadi, ini pekerjaan rumah Dewan
Pers untuk melanjutkan permintaan AJI dan IJTI untuk memproses pengajuan revisi
kepada Presiden Jokowi,”pungkasnya. (Edu-On/Riz)
Tags
Berita