doc. Internet |
Teringat ketika
itu, sepulang dari sekolah, Bapak saya bertanya, “sudahkah kamu bisa menulis
namamu?” tentu saja saya dengan lantang menjawab “Bisa,” tanpa di intruksikan,
saya menuliskan namaku dalam secarik kertas. “Ya sudah, tidak usah sekolah,
sudah bisa menulis,” ujar bapak ketika itu. Sontak, saya hanya diam saja, tidak
meresponnya. Karena ketika itu sedang suka-sukanya sekolah.
Di lain
kesempatan, di Desa kami, ada seorang perempuan paruh baya yang memiliki toko
kelontong. Toko ini terkenal di segala penjuru desa. Latar belakang pendidikan
perempuan tersebut hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Namun, soal perhitungan,
dia sangat cepat. Tak jarang pembeli terkadang berbisik kepada anaknya, “Marni (nama
penjual toko) saja, sekolah rendah, cara menghitungnya hebat, kaya lagi,”
begitu biasanya. Sebagai bentuk kesangsiannya terhadap sekolah.
Kejadian-kejadian
ini adalah salah satu fakta yang pernah saya alami. Hingga akhirnya di bangku
perkuliahan ini, saya kembali teringat kejadian tersebut. Apalagi kemarin
sempat mengikuti Sekolah Pemikiran Pendidikan Progresif (SP3), saya kembali
mengingat kejadian-kejadian tersebut. Sebenarnya apa yang dimaksudkan
oleh bapak saya ketika itu. Dari sinilah, saya mencoba membedahnya, tentang
kecakapan yang sederhana dan bisa menyesuaikan dengan masyarakat.
Di Sekolah, kita banyak sekali memperoleh mata pelajaran
(mapel). Terkadang ada yang bangga dengan mapel banyak di sekolah. Padahal, tanpa disadari, dengan banyak mapel tersebut, bisa membuat
peserta didik kabur dalam meningkatkan potensi yang diinginkan.
Individu-individu itu akan mentah dan serba setengah-setangah di semua mapel.
Ditambah lagi dengan peserta didik yang memang tidak berminat di mapel
tersebut, karena kecenderungannya bukan dibidang itu. Kita selalu merasa dengan
semakin banyak materi yang diberikan, kita merasa sudah membuat peserta didik
tersebut semakin cerdas. Padahal itu belum tentu menjadi jaminan.
Lalu, sebenarnya
apa gunanya
dalam sekolah itu diajarkan mata pelajaran yang dari jenjang kejenjang semakin
sulit dan menyulitkan, hingga kadang membuat depresi otak? Kalau ternyata dalam
kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalah sebuah perhitungan sederhana.
Masyarakat tentu tidak membutuhkan perhitungan sin dan cos atau tetek bengek
perhitungan sulit yang lain.
Begitu juga dengan mapel-mapel yang lain. Mata pelajaran yang terkesan melangit
dan membuat jarak dengan masyarakat daerah.
Seperti yang kita
ketahui bersama, di Indonesia sistem pendidikan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam UU tersebut pasal 3, pendidikan memiliki tujuan mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dari Tujuan ini,
ada dua term yang penting. Pertama adalah soal peningkatan potensi, yang kedua
adalah soal ketakwaan kita kepada Tuhan dan moralitas. Dalam peningkatan potensi, pendidikan harus bisa
meningkatkan potensi masing-masing individu peserta didik. Dalam hal ini,
perlu diingat bahwa setiap individu
memiliki potensi yang berbeda-beda. Faktanya, sekolah meratakan semuanya. Parahnya lagi, ukuran kecerdasan individu dipersempit dengan peserta
didik yang mendapatkan nilai bagus ketika mengerjakan ujian mata pelajaran sains.
Hal ini, yang tanpa disadari dapat mematikan potensi-potensi lain yang
dimiliki oleh peserta didik.
Setiap individu memiliki potensi yang berbeda, dan
kecerdasan jangan sampai hanya diukur dari pemahamannya terkait mapel sains.
Ada banyak kecerdasan yang lain. Misalnya kecerdasan EQ dan SQ. Misalnya saja
individu cerdas dalam bermain sepak bola, musik, menggambar, dan banyak lagi.
Dari sini, seharusnya
pemerintah membuat sistem pendidikan yang memang dapat meningkatkan potensi
anak didik. Diberbagai bidang yang diinginkan.
Sentralitas
yang tak berguna
Dalam pendidikan
Indonesia, Ujian Nasional (UN) merupakan perbincangan yang hangat diperbincangkan ketika memasuki kelas tingkatan
akhir di sekolah. Kelas tersebut adalah kelas enam SD dan sederajat, kelas 3 SMP dan sederajat, kelas 3 SMA dan
sederajat. UN merupakan amanah UU No. 20 tahun 2005 tentang sisdiknas yang memiliki
tujuan untuk mengukur pencapaian komptensi lulusan pada matapelajaran secara
nasional dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Imbas adanya UN adalah sekolah selalu ‘sibuk’ ketika
peserta didiknya menghadapi UN. Dari mengerjakan soal-soal materi yang
diujikan, jam tambahan setiap harinya, hingga bahkan kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh sekolah, guru dan peserta didik. Semua ini dilakukan demi
mendapatkan nilai terbaik dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Karena UN
sendiri dimaksudkan pemerintah untuk
menstandardisasi. Untuk itu pemerintah membuat suatu lembaga bernama Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Dengan sekolah-sekolah
tersebut melaksanakan UN dapat memetakan satuan pendidikan, pertimbangan seleksi
masuk ke jenjang berikutnya, dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Ini termaktub
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP).
Di UN, tak jarang banyak peserta didik yang tidak menyukai matapelajaran seragam yang diujikan
secara nasional tersebut. Padahal mapel tersebut tidak semuanya
dapat mengembangkan individu yang berbeda-beda kecerdasannya, pun tidak
dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat dalam keseharian. Mapel yang diujikan terkadang
membuat kesia-sian yang tidak ada artinya, karena tidak disukai dan tidak bisa
diterapkan dilingkungan masyarakat sekitarnya secara langsung. Lucu saja,
pembelajaran matematika trigonometri hanya menjadi perbincangan-perbincangan
dalam kelas yang tidak ada artinya dikehidupan sehari-hari. Apalagi peserta
didik yang tidak menyukainya, hanya menjadi hafalan saja dalam ingatan,
besoknya sudah hilang.
Harusnya mapel
yang seragam adalah mapel nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa
saja. Menyoal yang lain itu harus
diserahkan kepada masing-masing daerah. Inilah yang dapat membuat pendidikan
itu bisa menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Menuju manusia
seutuhnya
Bagi saya permasalahan
pendidikan di Indonesia bukan masalah metode, guru atau peserta didik, tapi
soal matapelajaran yang diberikan. Mapel yang diberikan tidak bisa langsung
diterapkan dalam masyarakat. Akibat ulah pemerintah yang menyeragamkan
semuanya, akhirnya individu daerah satu dengan daerah lain dipaksa untuk
mempelajari mata pelajaran tersebut. Ini adalah bentuk kekerasan
simbolik yang dimaksudkan oleh Piere Bierdiou. Jadi habitus sebagai suatu
budaya masyarakat dirusak dan dipaksa untuk menjadi habitus masyarakat lain
yang lebih dominan. Inilah yang menyebabkan kekerasan simbolik yang tidak
disadari menyerang kondisi psikis anak didik.
Harusnya ketika
daerah atau masyarakat sekitarnya adalah petani, maka disediakan institusi
pendidikan yang memang konsen dibidang pertanian untuk mengembangkan pertanian
di daerahnya. Atau ketika memang dalam daerah tersebut dibutuhkan seorang
pegawai, maka pendidikan dihadirkan untuk memenuhi itu.
Habitus
masyarakat pertanian jangan dipaksakan untuk menjadi masyarakt pegawai.
Berdasi, celana kain, sepatu hitam, dan simbol-simbol kesuksesan yang tidak
sesuai dengan keadaan daerahnya. Ini menjadikan imajinasi naif yang menyebabkan
penyempitan terhadap makna kesuksesan.
Ini sesuai dengan
apa yang diungkapkan oleh Tan Malaka dalam madilognya “Bila kaum muda yang
telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk
melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali.”
Karena
kemajemukan di Indonesia, pendidikan lebih ideal jika diserahkan masing-masing
daerah. Ini tentu tidak menghilangkan hubungan sentral antara negara. Mapel
harus diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik. Jadi, untuk membantu itu,
dibutuhkan konsultan pendidikan. Konsultan ini bertugas untuk memberikan saran
kepada peserta didik untuk memilih pelajaran mana yang sebaiknya diambil untuk
mencapai targetnya menjadi apa yang dia ingingkan. Pun tanpa menghilangkan
lokalitas daerah masing-masing.
Terlebih
pendidikan ini nanti langsung dijuruskan sejak dini. Jadi bukan hanya saat di
Perguruan Tinggi (PT) saja. Semisal anak ini memang menginginkan untuk belajar
musik, maka sejak dini dia akan belajar segala hal mengenai musik. Pun nanti sekolah-sekolah
di Indonesia dalam pembelajaran tidak akan mengajarkan sesuatu yang tidak
sesuai dengan keinginan peserta didiknya.
Berlandaskan pada
kebutuhan dan keinginan dari peserta didik inilah, pendidikan di Indonesia akan
sesuai dengan yang dicita-citakan oleh Bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar
Dewantara, yaitu menjadi manusia yang seutuhnya.
Penulis: AhmadAamAhmad
Perantauan yang sedang memperjuangkan pendidikaan humanis.
Tags
Wacana