Hakikat Guru sebagai Pendidik, Bukan sebagai Pengajar


Guru diibaratkan seperti “pena” yang selalu menulis untuk mengasilkan suatu karya, karya yang bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Analogi ini memang cocok untuk disandingkan pada pundak sang pendidik, melihat perjuangan guru yang selalu tampil di barisan terdepan bagi kecerdasan putra bangsa.
Sewaktu kecil saya pernah memimpikan menjadi seorang guru, guru yang bisa memberikan disiplin keilmuan, pengalaman dan nasehat-nasehat baiknya kepada anak didik hingga mereka sukses. Akan tetapi, cita-citaku itu entah mengapa tiba-tiba surut ketika mengetahui bahwa guru saat ini jauh berbeda dengan sosok guru pada masa lampau, dimana  sejarah telah mencatat bahwa Indonesia besar berkat campur tangan guru. Jati diri atau kepribadian guru yang bertugas mencerdaskan putra-putri bangsa kini telah tinggal sejarah. Dibuktikan dengan pemetaan profesi guru yang hanya terpaku untuk mengejar kenikmatan semata dan melupakan esensi dari peran guru tersebut.

Istilah ‘Guru’ sekarang sudah mendapat arti yang lebih luas di dalam tatanan masyarakat. Semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian kepada seseorang atau sekelompok dapat disebut ‘Guru’. Misalnya; guru silat, guru ngaji, guru mengetik, guru menjahit, bahkan guru mencopet dan sebagainya. Beberapa contoh diatas selaras dengan profesi guru sebagai pengajar bukan sebagai pendidik, pasalnya ia hanya memberikan pengajaran sebatas pada hal yang belum diketahui oleh khalayak. Sifat dan sikap guru yang hanya bisa memberikan pengajaran secara teoritis dan enggan hadir sebagai sosok orang tua di sekolah mencerminkan ‘Guru’ hanya sebagai profesi yang matrealistis, yang mengabdi dengan mengarapkan upah atau imbalan. Penegasan, bahwa Indonesia saat ini tidak membutuhkan lagi peran dan kehadiran guru yang bermodel seperti ini, namun bangsa kita butuh sosok guru yang dapat memberikan pendampingan, perlindungan, pemahaman selain dari pengajaran kepada anak didik tanah air.

Oleh karena itu, saya mencoba menguraikan pendapat yang menjadi realita saat ini, guru hanya terfokus untuk melahirkan generasi muda yang berkompeten bukan cerdas akal budinya. Perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa kata ‘mendidik dan mengajar’ memiliki makna yang berbeda tetapi saling berhubungan. ‘Mendidik’ mempunyai arti memelihara dan memberikan ajaran, tutunan, dan kepemimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran secara bekesinambungan. Kata ‘mendidik’ biasanya terfokus pada sosok orang tua dalam lingkup pendidikan keluarga, namun hal itu hanya sebatas makna sempit. Adapun yang benar bahwa kata mendidik juga dapat disematkan pada sosok guru di lingkup pendidikan formal. Dan mengenai makna ‘mengajar’ hanya sebatas memberikan informasi kepada seseorang yang belum tahu sehingga mereka mengetahui, contonya; “kita memberikan informasi terkait rute jalan menuju rumah sakit kepada orang yang tersesat, kemudian ia tahu”, hal ini merupakan penjelasan tentang makna ‘mengajar’. Walaupun secara eksplisit dari kedua pengertian di atas hampir sama dan menimbulkan makna yang kontras, tetapi dua makna tersebut saling bersinergi. Kemudian Mengajar harus diikuti dengan mendidik, karena ‘mengajar’ hanya sebatas memberikan pengajaran secara teoritis dan berhenti pada hal itu. Akan tetapi ‘mendidik” lebih dari sekedar mengajar, guru yang berjiwa pendidik akan mampu memberikan motivasi, nasehat, pendampingan, dan evaluasi. Sehingga putra-putri bangsa tidak hanya cerdas secara intelektual saja tetapi cerdas secara emosional.

           Harapanya, guru harus mampu memberikan pendidikan yang layak dan tidak terfokus pada makna profesi saja, karena jika guru dimaknai sebagai profesi akan timbul makna baru yang terarah hanya sebatas mengajar untuk mengejar kenimatan duniawi saja. Akan tetapi, guru saat ini harus menempatkan dirinya sebagai pendidik, mendidik anak didiknya yang belum mengerti, memberikan motivasi kepada mereka yang putus asa, dan memberikan arahan atau evaluasi kepada mereka yang bersalah. Inilah makna “Guru” yang tepat dan sempat bergeser secara maknawi sehingga banyak yang salah persepsi.

Ditulis oleh M Z Muttaqin mahasiswa PBI

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak