Identitas Novel
Judul Buku: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Pengarang: Dian Purnomo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan pertama (2020), Cetakan ketujuh (2022)
Sinopsis
Novel "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" ini diangkat dari kisah nyata dengan menghadirkan sosok Magi Diela, seorang sarjana pertanian lulusan Yogyakarta yang pulang ke tanah kelahirannya di Sumba dengan segudang harapan untuk memajukan sektor pertanian kampungnya. Namun, mimpi-mimpi cerah Magi hancur seketika ketika ia menjadi korban yappa mawine (culik perempuan) atau yang dikenal juga sebagai piti rambang (kawin tangkap) oleh Leba Ali, seorang pria paruh baya yang telah mengincarnya sejak kecil.
Tradisi yang telah mengakar turun-temurun ini memaksa Magi berhadapan dengan realitas pahit di mana perempuan diperlakukan layaknya objek yang dapat diambil tanpa persetujuan. Dari sinilah perlawanan Magi dimulai—sebuah perjuangan yang mengharuskannya berhadapan dengan keluarga, masyarakat, bahkan struktur adat yang telah mapan selama berabad-abad.
Analisis
Dian Purnomo berhasil mengemas kisah yang berat ini dengan bahasa yang mampu menghanyutkan pembaca ke dalam atmosfer Sumba yang autentik. Penggunaan sudut pandang orang ketiga memberikan objektivitas dalam penyajian karakter, namun yang menarik adalah sisipan sudut pandang penulis di beberapa bab yang justru menambah dimensi emosional cerita.
Alur yang dibangun cepat dan efisien tanpa mengorbankan kedalaman makna. Setiap adegan disajikan dengan intensitas yang tepat, membuat pembaca tidak hanya sekadar membaca, tetapi benar-benar merasakan pergolakan batin yang dialami Magi.
Keputusan penulis untuk mempertahankan dialog dalam bahasa Sumba merupakan pilihan artistik yang berani. Meskipun hal ini sempat menjadi tantangan bagi pembaca di awal, namun kehadiran catatan kaki yang menjelaskan makna setiap istilah menunjukkan komitmen penulis untuk tetap menjaga keaslian budaya sambil memastikan aksesibilitas bagi pembaca umum.
Penggunaan terminologi lokal seperti yappa mawine dan piti rambang tidak sekadar berfungsi sebagai ornamen naratif, melainkan menjadi jembatan pemahaman bagi pembaca tentang kompleksitas budaya yang diangkat.
Novel ini bukan sekadar cerita fiksi, melainkan manifesto perlawanan terhadap tradisi yang telah kehilangan relevansinya. Dian Purnomo dengan berani mengkritik praktik kawin tangkap yang masih bertahan hingga saat ini, menunjukkan bagaimana tradisi yang seharusnya melindungi justru menjadi sumber penderitaan bagi perempuan.
Karakter Magi digambarkan bukan sebagai korban pasif, melainkan sebagai simbol perlawanan perempuan modern yang tidak mau menerima nasib begitu saja. Perjuangannya yang mempertaruhkan nyawa menjadi representasi dari ribuan perempuan lain yang mungkin masih terjebak dalam siklus yang sama.
Keunggulan dan Kelemahan
Novel ini memiliki sejumlah keunggulan yang patut diapresiasi. Relevansi sosial yang tinggi menjadi kekuatan utama karya ini, mengangkat isu kawin tangkap yang masih terjadi dan perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat luas. Karakter Magi sebagai tokoh utama digambarkan dengan kompleksitas yang realistis, tidak hanya sebagai korban tetapi juga sebagai perempuan yang berani. Pesan moral yang kuat tentang pentingnya keberanian perempuan untuk melawan ketidakadilan menjadikan novel ini tidak sekadar hiburan, tetapi juga media edukasi yang berharga.
Meskipun demikian, novel ini tidak luput dari beberapa kelemahan. Penggunaan bahasa Sumba yang intensif, meski menambah autentisitas, dapat menjadi hambatan bagi sebagian pembaca yang tidak familiar dengan budaya tersebut, terutama di bagian awal cerita.
Kesimpulan
"Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" adalah karya yang berhasil menggabungkan nilai sastra dengan kritik sosial yang tajam. Novel ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi pembaca tentang realitas yang dialami perempuan khusunya daerah pedalaman yang masih menjunjung tinggi adat budaya daerah setempat.
Novel ini sangat direkomendasikan bagi pembaca yang peduli dengan isu-isu sosial dan kesetaraan gender, serta bagi mereka yang ingin memahami kompleksitas budaya Nusantara dengan perspektif yang lebih kritis.
Rating: ★★★★☆ (4.6/5)
"Terkadang, untuk mengubah dunia, seseorang harus berani menjadi 'gila' terlebih dahulu—seperti yang dilakukan Magi."
Peresensi: Zidni Rosyidah