Terperangkap dalam Sangkar

Ilustrasi lovebird dalam sangkar. Doc, pinterest.com 

Matahari baru saja meninggalkan tempatnya, hilang terbenam bersamaan dengan gedung yang melahap wujudnya. Sore itu, aku tengah sendirian di warung kopi tepi jalan, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Aku sudah memesankan dua cangkir kopi hitam tanpa gula seperti biasanya. Dia masih melaju menuju lokasiku sekarang 20 menit lagi sampai, katanya. Namun, entah mengapa menunggunya membuatku teringat akan sesuatu.

Aku menatap dengan penuh harap pada kilau cahaya oranye nan indah itu, yang menurut sebagian orang memancarkan aura optimisme. Sorotan dari cahayanya dapat membius siapa saja yang tak sengaja memandangnya. Tak heran sebagian orang rela menanti berjam-jam, dari pagi menjelang malam, hanya untuk menatap dalam diam di teras balkon rumahnya, termenung diselimuti desiran angin pantai, atau terdiam pasrah meratap riuhnya suasana kota sepulang bekerja.

Mungkin inilah alasanku selama ini menempatkan warna oranye pada daftar warna favoritku. Teduh, hangat, menyiratkan harapan yang selalu akan datang walaupun kebanyakan dari mereka tidak menyukai warna ini karena sulit dikombinasikan dengan warna lain.

Dahulu, saat seorang anak kecil diperintah untuk menyebutkan makanan favorit, minuman favorit, atau warna favoritnya, aku termasuk salah seorang yang tak pandai mengungkapkannya. Dengan keterpaksaan dan proses seleksi, bak orang dewasa yang bekerja meneliti sebuah produk untuk dikonsumsi orang banyak, akhirnya aku memilih warna oranye sebagai warna kesukaanku.

Awalnya aku menganggap warna oranye itu indah karena indah saja, tak ada alasan lain. Tetapi setelah berkepala dua, aku menyadari beberapa hal. Jika sebagian orang menyukai suatu hal sebab ada kenangan indah padanya, aku menyukai suatu hal karena keadaan yang memaksaku untuk menyukainya. Kebencian berubah menjadi rasa cinta, menggerakkan hatiku untuk terus menjangkau harapan di depan sana.

Belum sempat aku menyelesaikan lamunanku, tiba-tiba aku dikaget oleh lelaki yang turun dari motornya. Dengan cepat, ia melepas helm full face yang dikenakannya seperti seorang pemain bola yang melepas bajunya setelah mencetak gol. Dengan suara yang berat suara khas itu pasti tidak salah lagi.

"Hai Lea, aku sudah sampai. Maaf menunggu lama," ucap seorang lelaki bertubuh tinggi, berbadan kekar, dengan gaya rambut khasnya tegak lurus. Ujung-ujung rambutnya jatuh menutupi sebelah dahinya, persis seperti gaya rambut Ariel Noah.

Dia, Bima teman satu kelas denganku, aktivis kampus yang ke sana kemari memperjuangkan mahasiswa yang tidak memperoleh haknya dengan layak. Tak jarang ia banyak berurusan dengan birokrat kampus, bahkan sesekali ia juga pernah mengawal warga menghadapi penggusuran rumah sepihak oleh perusahaan industri.

"Oh, iya, tidak masalah," aku menjawab sekenanya.

"Sepertinya dirimu sedang memikirkan sesuatu. Aku tahu itu, ceritakan saja," balasnya sembari menarik kursi di sebelahku, lalu menempatkannya tepat di hadapanku.

"Tidak ada apa-apa, Bim. Tenang saja," balasku sambil tersenyum lebar padanya.

"Ah, yang benar saja. Biasanya dirimu membuka percakapan dengan bercerita ngalor-ngidul. Seperti melihat sosok lain pada dirimu ada apa sebenarnya?"

"Sejujurnya, aku ingin mengutarakan keluh kesahku selama ini. Yang kau lihat pada diriku sebagai sosok periang, selalu tersenyum bagaimanapun keadaannya, seolah terlihat bebas, padahal aku sedang terjebak dalam penjara yang sulit keluar darinya."

"Maksudnya?" Bima bertanya dengan penuh kecurigaan.

Aku menarik napas panjang, sebentar lalu menghembuskannya keluar. Sembari meminum kopi yang sudah dingin ditiupi angin sore, aku mencoba menenangkan diri sejenak lalu mengutarakan apa yang selama ini menari-nari dalam pikiranku.

"Aku iri denganmu, Bim. Dapat dengan bebasnya berkelana melihat sisi lain dari dunia yang indah ini. Aku lihat dirimu sebagai sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dapat menyuarakan mereka yang enggan didengar merupakan impianku sejak lama."

"Aku mengerti arah pembicaraanmu. Tak usah diambil pusing, tenang saja. Berkelanalah, masih banyak tempat di belahan bumi ini yang perlu kau lihat dan saksikan dengan mata kepalamu sendiri."

"Tapi Bim, aku berbeda denganmu! Kau lupa aku hanya seorang perempuan. Stereotipe di lingkungan keluarga dan masyarakatku sangat kuat aku tak bisa ke mana-mana. Kau juga tahu, ayahku seorang Perwira TNI yang masih aktif menjabat. Bagaimana bisa aku meninggalkan kota ini?"

Kata-kata meluncur begitu saja, keluar melalui mulutku, lalu meledak seperti bom atom yang jatuh mengenai penduduk sipil tak bersalah di Hiroshima dan Nagasaki, beberapa minggu setelah uji coba di Manhattan.

Ia tidak langsung menjawab, diam sejenak. Lalu menggerakkan kepalanya ke samping, memandangiku, dan tersenyum.

Tidak berselang lama, ia menarik tanganku dan berpamitan pada seorang lelaki yang sedari tadi sudah berdiri di belakang gerobak dagangannya. "Pak, aku titip motor sebentar, mau ke seberang jalan."

"Kau mau bawa aku ke mana?" tanyaku dengan penuh penasaran.

"Sudah ikut saja," jawabnya dengan terus menoleh ke kanan dan kiri, memastikan kondisi sekitar aman dari serudukan besi-besi yang berjalan di jalanan beraspal.

Kami berhenti tepat di depan kios yang menyuguhkan berbagai jenis burung, mulai dari Murai yang harganya mencapai jutaan, hingga burung pleci dan kenari yang hanya puluhan hingga ratusan ribu.

Di tengah ramainya orang yang melintas di jalan raya, tak banyak yang mampir atau hanya sekadar melirik pada toko ini. Mungkin tidak ada lahan parkir yang memadai, atau memang tokonya tidak membuat orang tertarik mengunjunginya. Sepi memang, tetapi memandang sekitar membuat amarah dalam diriku sedikit mereda.

"Kenapa kau bawa aku ke sini? Ingin menghiburku dari ledakan amarah yang kuperbuat tadi?"

Bukan jawaban yang kudapat, malah sikap tak acuh yang ditunjukkan. Bima sibuk melihat varia burung, meneliti satu per satu bak seorang paleontologi yang mengucap kagum saat melihat fosil temuannya.

"Lea, coba lihat ke sini. Cantik bukan warnanya?" katanya tenang, sembari menunjukkan sesuatu padaku. Berusaha meyakinkan padaku tentang corak warna yang ada pada burung cinta atau biasa disebut lovebird, yang menurutnya menawan.

Aku bisa melihat warna pada dada dan punggungnya sama-sama memiliki warna hijau muda, tetapi memiliki perbedaan yang kentara saat diperhatikan. Sementara itu, perpaduan antara kuning dan oranye pada kepalanya menimbulkan kesan cerah, menyenangkan, tetapi hangat.

"Bukankah burung ini mirip denganmu, Lea?"

Belum sempat aku mempertanyakan maksud dari perkataannya, ia sudah mengerti maksud dari kebingunganku dan langsung memuntahkan jawaban begitu saja.

"Iya benar, burung ini mirip denganmu. Bukan karena parasnya yang membuat siapa pun terpaku melihatnya, melainkan hidup dari burung ini juga tak jauh berbeda denganmu."

Ia masih melanjutkan celotehannya.

"Tahukah kau, Lea, kalau hewan ternakan seperti burung ini dilepas di alam liar, ia tidak akan bisa bertahan lama. Walau kau kasihan padanya sendirian, melihatnya menderita dan terperangkap dalam sangkar kau tak akan bisa menolongnya dengan niat baikmu itu untuk melepasnya keluar. Yang ada hanyalah membunuh perlahan, sebab ia yang dilahirkan untuk terkungkung dalam sangkar akan mati ketika kebebasan datang padanya. Bukan mereka tidak ingin bebas, melainkan kenyamanan dan ketergantungan sudah melekat padanya. Ia tak terbiasa menghadapi realita alam liar dengan mata kepala mereka sendiri."

"Lantas, bukankah generasi awal mereka hidup di alam liar sebagai bagian dari alam? Lalu mengapa mereka tidak bisa bertahan ketika dilepas?"

"Lea, keberanian dan tekad untuk bertahan hidup tidak diwariskan dari orang tua atau nenek moyang kita. Sebaliknya, ia tumbuh dari dalam diri masing-masing manusia yang peka terhadap sekitarnya. Mereka yang sudah nyaman duduk di kursi empuk kehidupan dan dibesarkan dengan warisan hak istimewa yang didapatnya, tanpa melihat seluk-beluk mereka berasal, selamanya ia akan bernasib sama seperti lovebird yang diambil, disiksa, dan dipaksa beralih dari kerasnya hidup di alam liar menjadi mati bersama kenyamanannya dalam sangkar. Selanjutnya, apa yang akan dirimu perbuat dengan kondisi saat ini?"

Secara mendadak dadaku penuh sesak, tak terasa air mata telah jatuh membanjiri pipiku. Bibirku terkunci, menolak mengeluarkan kata-kata yang biasanya meluncur dengan derasnya. Kali ini aku hanya punya satu harapan.

Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, aku berusaha menjawabnya dengan susah payah. Mencoba menenangkan diriku sendiri di saat air mata tidak bisa diajak untuk berdamai.

"Sepertinya, aku tetap memilih hidup di dalam sangkar, Bim. Aku bukan elang yang dilahirkan terbang bebas menghirup udara yang disediakan alam. Mustahil rasanya menyalahi aturan. Walau begitu, aku tetap berjuang semampu dan sebisaku. Jika aku ditakdirkan untuk tetap berada dalam sangkar, kelak aku akan ajarkan anak keturunanku caranya terbang bebas di alam."


Karya: Fajar Fahrozi Kurniawan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak