Matahari baru saja meninggalkan tempatnya, hilang
terbenam bersamaan dengan gedung yang melahap wujudnya. Sore itu, aku tengah
sendirian di warung kopi tepi jalan, menunggu seseorang yang tak kunjung
datang. Aku sudah memesankan dua cangkir kopi hitam tanpa gula seperti
biasanya. Dia masih melaju menuju lokasiku sekarang 20 menit lagi sampai,
katanya. Namun, entah mengapa menunggunya membuatku teringat akan sesuatu.
Aku menatap dengan penuh harap pada kilau cahaya
oranye nan indah itu, yang menurut sebagian orang memancarkan aura optimisme.
Sorotan dari cahayanya dapat membius siapa saja yang tak sengaja memandangnya.
Tak heran sebagian orang rela menanti berjam-jam, dari pagi menjelang malam,
hanya untuk menatap dalam diam di teras balkon rumahnya, termenung diselimuti
desiran angin pantai, atau terdiam pasrah meratap riuhnya suasana kota sepulang
bekerja.
Mungkin inilah alasanku selama ini menempatkan warna
oranye pada daftar warna favoritku. Teduh, hangat, menyiratkan harapan yang
selalu akan datang walaupun kebanyakan dari mereka tidak menyukai warna ini
karena sulit dikombinasikan dengan warna lain.
Dahulu, saat seorang anak kecil diperintah untuk
menyebutkan makanan favorit, minuman favorit, atau warna favoritnya, aku
termasuk salah seorang yang tak pandai mengungkapkannya. Dengan keterpaksaan
dan proses seleksi, bak orang dewasa yang bekerja meneliti sebuah produk untuk
dikonsumsi orang banyak, akhirnya aku memilih warna oranye sebagai warna
kesukaanku.
Awalnya aku menganggap warna oranye itu indah karena
indah saja, tak ada alasan lain. Tetapi setelah berkepala dua, aku menyadari
beberapa hal. Jika sebagian orang menyukai suatu hal sebab ada kenangan indah
padanya, aku menyukai suatu hal karena keadaan yang memaksaku untuk
menyukainya. Kebencian berubah menjadi rasa cinta, menggerakkan hatiku untuk
terus menjangkau harapan di depan sana.
Belum sempat aku menyelesaikan lamunanku, tiba-tiba
aku dikaget oleh lelaki yang turun dari motornya. Dengan cepat, ia melepas helm
full face yang dikenakannya seperti seorang pemain bola yang melepas
bajunya setelah mencetak gol. Dengan suara yang berat suara khas itu pasti
tidak salah lagi.
"Hai Lea, aku sudah sampai. Maaf menunggu
lama," ucap seorang lelaki bertubuh tinggi, berbadan kekar, dengan gaya
rambut khasnya tegak lurus. Ujung-ujung rambutnya jatuh menutupi sebelah
dahinya, persis seperti gaya rambut Ariel Noah.
Dia, Bima teman satu kelas denganku, aktivis kampus
yang ke sana kemari memperjuangkan mahasiswa yang tidak memperoleh haknya
dengan layak. Tak jarang ia banyak berurusan dengan birokrat kampus, bahkan
sesekali ia juga pernah mengawal warga menghadapi penggusuran rumah sepihak
oleh perusahaan industri.
"Oh, iya, tidak masalah," aku menjawab
sekenanya.
"Sepertinya dirimu sedang memikirkan sesuatu.
Aku tahu itu, ceritakan saja," balasnya sembari menarik kursi di
sebelahku, lalu menempatkannya tepat di hadapanku.
"Tidak ada apa-apa, Bim. Tenang saja,"
balasku sambil tersenyum lebar padanya.
"Ah, yang benar saja. Biasanya dirimu membuka
percakapan dengan bercerita ngalor-ngidul. Seperti melihat sosok lain pada
dirimu ada apa sebenarnya?"
"Sejujurnya, aku ingin mengutarakan keluh
kesahku selama ini. Yang kau lihat pada diriku sebagai sosok periang, selalu
tersenyum bagaimanapun keadaannya, seolah terlihat bebas, padahal aku sedang
terjebak dalam penjara yang sulit keluar darinya."
"Maksudnya?" Bima bertanya dengan penuh
kecurigaan.
Aku menarik napas panjang, sebentar lalu
menghembuskannya keluar. Sembari meminum kopi yang sudah dingin ditiupi angin
sore, aku mencoba menenangkan diri sejenak lalu mengutarakan apa yang selama
ini menari-nari dalam pikiranku.
"Aku iri denganmu, Bim. Dapat dengan bebasnya
berkelana melihat sisi lain dari dunia yang indah ini. Aku lihat dirimu sebagai
sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dapat menyuarakan mereka yang
enggan didengar merupakan impianku sejak lama."
"Aku mengerti arah pembicaraanmu. Tak usah
diambil pusing, tenang saja. Berkelanalah, masih banyak tempat di belahan bumi
ini yang perlu kau lihat dan saksikan dengan mata kepalamu sendiri."
"Tapi Bim, aku berbeda denganmu! Kau lupa aku
hanya seorang perempuan. Stereotipe di lingkungan keluarga dan masyarakatku
sangat kuat aku tak bisa ke mana-mana. Kau juga tahu, ayahku seorang Perwira
TNI yang masih aktif menjabat. Bagaimana bisa aku meninggalkan kota ini?"
Kata-kata meluncur begitu saja, keluar melalui
mulutku, lalu meledak seperti bom atom yang jatuh mengenai penduduk sipil tak
bersalah di Hiroshima dan Nagasaki, beberapa minggu setelah uji coba di
Manhattan.
Ia tidak langsung menjawab, diam sejenak. Lalu
menggerakkan kepalanya ke samping, memandangiku, dan tersenyum.
Tidak berselang lama, ia menarik tanganku dan
berpamitan pada seorang lelaki yang sedari tadi sudah berdiri di belakang
gerobak dagangannya. "Pak, aku titip motor sebentar, mau ke seberang
jalan."
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanyaku dengan
penuh penasaran.
"Sudah ikut saja," jawabnya dengan terus
menoleh ke kanan dan kiri, memastikan kondisi sekitar aman dari serudukan
besi-besi yang berjalan di jalanan beraspal.
Kami berhenti tepat di depan kios yang menyuguhkan
berbagai jenis burung, mulai dari Murai yang harganya mencapai jutaan, hingga
burung pleci dan kenari yang hanya puluhan hingga ratusan ribu.
Di tengah ramainya orang yang melintas di jalan raya,
tak banyak yang mampir atau hanya sekadar melirik pada toko ini. Mungkin tidak
ada lahan parkir yang memadai, atau memang tokonya tidak membuat orang tertarik
mengunjunginya. Sepi memang, tetapi memandang sekitar membuat amarah dalam
diriku sedikit mereda.
"Kenapa kau bawa aku ke sini? Ingin menghiburku
dari ledakan amarah yang kuperbuat tadi?"
Bukan jawaban yang kudapat, malah sikap tak acuh
yang ditunjukkan. Bima sibuk melihat varia burung, meneliti satu per satu bak
seorang paleontologi yang mengucap kagum saat melihat fosil temuannya.
"Lea, coba lihat ke sini. Cantik bukan
warnanya?" katanya tenang, sembari menunjukkan sesuatu padaku. Berusaha
meyakinkan padaku tentang corak warna yang ada pada burung cinta atau biasa
disebut lovebird, yang menurutnya menawan.
Aku bisa melihat warna pada dada dan punggungnya
sama-sama memiliki warna hijau muda, tetapi memiliki perbedaan yang kentara
saat diperhatikan. Sementara itu, perpaduan antara kuning dan oranye pada
kepalanya menimbulkan kesan cerah, menyenangkan, tetapi hangat.
"Bukankah burung ini mirip denganmu, Lea?"
Belum sempat aku mempertanyakan maksud dari
perkataannya, ia sudah mengerti maksud dari kebingunganku dan langsung
memuntahkan jawaban begitu saja.
"Iya benar, burung ini mirip denganmu. Bukan
karena parasnya yang membuat siapa pun terpaku melihatnya, melainkan hidup dari
burung ini juga tak jauh berbeda denganmu."
Ia masih melanjutkan celotehannya.
"Tahukah kau, Lea, kalau hewan ternakan seperti
burung ini dilepas di alam liar, ia tidak akan bisa bertahan lama. Walau kau
kasihan padanya sendirian, melihatnya menderita dan terperangkap dalam sangkar kau
tak akan bisa menolongnya dengan niat baikmu itu untuk melepasnya keluar. Yang
ada hanyalah membunuh perlahan, sebab ia yang dilahirkan untuk terkungkung
dalam sangkar akan mati ketika kebebasan datang padanya. Bukan mereka tidak
ingin bebas, melainkan kenyamanan dan ketergantungan sudah melekat padanya. Ia
tak terbiasa menghadapi realita alam liar dengan mata kepala mereka sendiri."
"Lantas, bukankah generasi awal mereka hidup di
alam liar sebagai bagian dari alam? Lalu mengapa mereka tidak bisa bertahan
ketika dilepas?"
"Lea, keberanian dan tekad untuk bertahan hidup
tidak diwariskan dari orang tua atau nenek moyang kita. Sebaliknya, ia tumbuh
dari dalam diri masing-masing manusia yang peka terhadap sekitarnya. Mereka
yang sudah nyaman duduk di kursi empuk kehidupan dan dibesarkan dengan warisan
hak istimewa yang didapatnya, tanpa melihat seluk-beluk mereka berasal,
selamanya ia akan bernasib sama seperti lovebird yang diambil, disiksa, dan
dipaksa beralih dari kerasnya hidup di alam liar menjadi mati bersama
kenyamanannya dalam sangkar. Selanjutnya, apa yang akan dirimu perbuat dengan
kondisi saat ini?"
Secara mendadak dadaku penuh sesak, tak terasa air
mata telah jatuh membanjiri pipiku. Bibirku terkunci, menolak mengeluarkan
kata-kata yang biasanya meluncur dengan derasnya. Kali ini aku hanya punya satu
harapan.
Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, aku
berusaha menjawabnya dengan susah payah. Mencoba menenangkan diriku sendiri di
saat air mata tidak bisa diajak untuk berdamai.
"Sepertinya, aku tetap memilih hidup di dalam
sangkar, Bim. Aku bukan elang yang dilahirkan terbang bebas menghirup udara
yang disediakan alam. Mustahil rasanya menyalahi aturan. Walau begitu, aku
tetap berjuang semampu dan sebisaku. Jika aku ditakdirkan untuk tetap berada
dalam sangkar, kelak aku akan ajarkan anak keturunanku caranya terbang bebas di
alam."