Tepat dua puluh dua hari setelah aku membuka restoran
kecilku yang sederhana, seorang pria datang. Ruzan namanya. Langkahnya ringan
namun percaya diri. Ia membuka pintu saat matahari baru menyusup di sela-sela
tirai, menimpa meja kayu yang baru saja kurapikan pukul enam pagi.
Ia menengok ke sekeliling sejenak, lalu mendudukkan diri di
meja paling ujung dekat jendela dan dapur kerjaku. Tasnya diletakkan di samping
kursi tanpa banyak basa-basi.
"Tempat ini sepi, ya?" katanya sambil tersenyum
tipis.
Aku mengangguk dari balik dapur sambil menyiapkan teh.
"Sepi," jawabku, "tapi cukup hangat untuk yang butuh duduk
sejenak."
Ia tertawa kecil. "Kedengarannya seperti iklan. Tapi
bagus."
Aku menyuguhkan teh hangat dengan dua balok gula batu, lalu
kembali ke dapur, mencoba tak terlalu mencuri pandang. Hanya karena aku belum
pernah melihat seseorang yang terlihat seperti dia: santai, tetapi ada sesuatu
di balik sorot matanya yang tak bisa dijelaskan dengan kata "biasa".
"Makanan di sini pakai menu tetap?" tanyanya.
"Tidak," jawabku sambil menyalakan kompor.
"Apa yang kumasak hari itu, itulah yang tersedia."
"Berarti saya harus percaya pada selera Anda."
"Kira-kira begitu."
Aku menyajikan nasi goreng seafood dengan dua cabai.
Saat mencicipinya, ia memejamkan mata sejenak. "Rasanya seperti pulang ke
tempat yang belum pernah saya tinggali," ucapnya perlahan.
Kalimat itu tak menggetarkan apa-apa di dadaku waktu itu.
Tapi entah kenapa, keesokan harinya aku bangun lebih awal dari biasanya.
Setelah hari itu, ia datang kembali. Tidak setiap hari, tapi
cukup sering untuk membuatku mengingat pola jam-jam kedatangannya. Kadang pagi,
kadang siang. Pernah juga ia datang saat hujan dengan jas setengah basah, hanya
untuk duduk dan berkata, "Aku cuma mau teh, dua balok gula, seperti biasa."
Lambat laun, ia mulai mengobrol lebih banyak. Tentang
pekerjaannya, tentang kelelahan yang tak bisa diceritakan pada siapa pun,
bahkan tentang kampung halaman yang katanya terlalu jauh untuk dirindukan.
"Tempatmu ini," katanya suatu ketika, "aneh
sekali rasanya. Aku bisa duduk di sini tanpa merasa harus menjelaskan
diriku."
Aku mengangguk pelan, pura-pura sibuk memotong seledri.
Sampai suatu sore, aku menyajikan sebuah menu hasil
eksperimenku. Ia mencicipi, lalu terdiam. "Ini... menarik," katanya.
"Sedikit pedas, tapi ada krim di akhirnya. Rasanya bertabrakan, tapi
pas."
Aku tersenyum. "Aku belum yakin dengan resepnya."
"Kau harus yakin, ini punya potensi."
Sejak itu, ia selalu menanyakan rasa itu. Dan aku, diam-diam
menyempurnakannya.
Beberapa minggu kemudian, ia datang lebih awal dari biasanya.
Duduk di bangku dapur, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis seperti biasa
saat ingin memintaku sesuatu.
"Kau masih ingat masakanmu yang pedas tapi creamy itu?"
"Oh ya?" jawabku.
"Bisa kau buatkan lagi? Tapi lebih seimbang. Aku ingin
tahu kalau rasa itu bisa benar-benar jadi."
"Untuk apa?"
"Untuk keyakinan saja," katanya pendek. "Aku
ingin tahu apakah kau bisa menciptakan rasa yang terus ingin aku cicipi."
Aku menuliskannya kembali di kertas baru. Takaran
kuperbaiki, tekstur kuatur ulang. Tanganku sempat tergores saat terburu-buru
mengiris cabai rawit merah. Beberapa hari kemudian, aku terkena uap panas dari
krim yang belum mendidih. Tapi tak apa. Aku mengira, barangkali ini bentuk
keterlibatan dua orang.
Lalu malam itu tiba. Ia duduk di tempat biasa, tak banyak
bicara. Aku menyajikan hidangan itu, lengkap dengan kehati-hatian yang tak
tertakar. Saat mencicipi, ia tersenyum samar sambil mengangguk singkat. Tapi
tak ada komentar seperti biasanya. Aku menunggu, memandangnya penuh tanya.
"Kau tidak bilang apa-apa, apa rasanya sudah
sesuai?" kataku akhirnya. "Aku membuatnya dengan penuh cinta,"
tambahku sambil menyiapkan minumnya.
Ia meletakkan sendok, bersandar. Lalu tertawa ringan.
"Han, kita ini hanya kerja sama, bukan?" ucapnya.
Aku tak langsung menjawab. Ia melanjutkan, "Kau masak,
aku menikmati. Tak perlu menambahkan bumbu berlebihan." Lalu, sambil
tertawa kecil, ia menambahkan, "Kau temanku. Teman yang... ya, agak
terlalu niat."
Teko di genggamanku berisi teh hangat menjadi sangat dingin.
Tanganku diam. Suara oven seperti menghilang. Hatiku... serasa digantikan es
batu yang gagal disajikan.
Aku tersenyum paksa dan membalikkan badan. Kupikir ia akan
diam, tapi justru mulai bercerita tentang tempat-tempat lain yang katanya juga
nyaman, juga sering ia kunjungi. "Aku senang bisa punya banyak tempat
untuk singgah," katanya bangga.
Dan aku?
Yang menyimpan ratusan resep hanya untuknya?
Yang tiap pagi bangun untuk menyapu lantai sebelum ia
datang?
Yang menutup buku resep agar hanya ia yang boleh mencicipi
lebih dulu?
Ternyata aku cuma satu titik di peta persinggahan yang tak
pernah benar-benar ia hafal.
Malam itu, dapurku tiba-tiba dingin. Bukan karena kompor
mati, tapi karena ada sesuatu dalam diriku yang perlahan padam. Tak biasanya
seperti ini. Sepulangnya pria itu, aku duduk sendiri di meja yang biasanya ia
tempati. Cangkirnya masih di sana, meninggalkan bekas bibir di pinggiran
porselen, dan aku... meninggalkan bekas air mata di celemek yang kusimpan rapi.
Aku menangis. Bukan karena kehilangan—karena dari awal pun
aku tak digenggam. Yang patah bukan hati, tapi harapan yang tumbuh liar dan
kini gagal panen. Aku marah, tapi pada diriku sendiri. Pada caraku percaya.
Pada betapa naifnya aku membaca isyarat tanpa lampu lalu lintas.
"Apa aku terlalu niat?"
"Apa aku terlalu bodoh menyangka ini resep
berdua?"
Namun pagi tetap datang. Dan aku, tetap bangun. Dapur ini
masih sama. Tapi kali ini, tak ada yang kutunggu. Aku tetap menyeduh teh, kali
ini tanpa balok gula. Pahit, tapi penuh pelajaran.
Kompor pun menyala, bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk
diriku sendiri yang akhirnya sadar bahwa aku layak hangat, meski tak dipeluk
siapa-siapa.
Sembari menanti air mendidih, kuletakkan buku resepku yang
tak pernah kujual di laci kecil di ujung dapur. Tempat aku biasa menyimpan
rahasia paling lembut dan rasa yang tak sempat dihidangkan.