Resepku Tidak Pernah Kujual

Ilustrasi dapur kecil yang hangat. Doc, pinterest.com 
 
Aku Hanira, seorang koki. Tidak punya restoran mewah, tidak pula menyandang gelar bergengsi di depan namaku. Tapi dapurku hangat, panci-panciku bersuara merdu, dan meja makanku bersih untuk siapa pun yang ingin duduk dan benar-benar menetap.

Tepat dua puluh dua hari setelah aku membuka restoran kecilku yang sederhana, seorang pria datang. Ruzan namanya. Langkahnya ringan namun percaya diri. Ia membuka pintu saat matahari baru menyusup di sela-sela tirai, menimpa meja kayu yang baru saja kurapikan pukul enam pagi.

Ia menengok ke sekeliling sejenak, lalu mendudukkan diri di meja paling ujung dekat jendela dan dapur kerjaku. Tasnya diletakkan di samping kursi tanpa banyak basa-basi.

"Tempat ini sepi, ya?" katanya sambil tersenyum tipis.

Aku mengangguk dari balik dapur sambil menyiapkan teh. "Sepi," jawabku, "tapi cukup hangat untuk yang butuh duduk sejenak."

Ia tertawa kecil. "Kedengarannya seperti iklan. Tapi bagus."

Aku menyuguhkan teh hangat dengan dua balok gula batu, lalu kembali ke dapur, mencoba tak terlalu mencuri pandang. Hanya karena aku belum pernah melihat seseorang yang terlihat seperti dia: santai, tetapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang tak bisa dijelaskan dengan kata "biasa".

"Makanan di sini pakai menu tetap?" tanyanya.

"Tidak," jawabku sambil menyalakan kompor. "Apa yang kumasak hari itu, itulah yang tersedia."

"Berarti saya harus percaya pada selera Anda."

"Kira-kira begitu."

Aku menyajikan nasi goreng seafood dengan dua cabai. Saat mencicipinya, ia memejamkan mata sejenak. "Rasanya seperti pulang ke tempat yang belum pernah saya tinggali," ucapnya perlahan.

Kalimat itu tak menggetarkan apa-apa di dadaku waktu itu. Tapi entah kenapa, keesokan harinya aku bangun lebih awal dari biasanya.

Setelah hari itu, ia datang kembali. Tidak setiap hari, tapi cukup sering untuk membuatku mengingat pola jam-jam kedatangannya. Kadang pagi, kadang siang. Pernah juga ia datang saat hujan dengan jas setengah basah, hanya untuk duduk dan berkata, "Aku cuma mau teh, dua balok gula, seperti biasa."

Lambat laun, ia mulai mengobrol lebih banyak. Tentang pekerjaannya, tentang kelelahan yang tak bisa diceritakan pada siapa pun, bahkan tentang kampung halaman yang katanya terlalu jauh untuk dirindukan.

"Tempatmu ini," katanya suatu ketika, "aneh sekali rasanya. Aku bisa duduk di sini tanpa merasa harus menjelaskan diriku."

Aku mengangguk pelan, pura-pura sibuk memotong seledri.

Sampai suatu sore, aku menyajikan sebuah menu hasil eksperimenku. Ia mencicipi, lalu terdiam. "Ini... menarik," katanya. "Sedikit pedas, tapi ada krim di akhirnya. Rasanya bertabrakan, tapi pas."

Aku tersenyum. "Aku belum yakin dengan resepnya."

"Kau harus yakin, ini punya potensi."

Sejak itu, ia selalu menanyakan rasa itu. Dan aku, diam-diam menyempurnakannya.

Beberapa minggu kemudian, ia datang lebih awal dari biasanya. Duduk di bangku dapur, menyilangkan kaki, dan mengangkat alis seperti biasa saat ingin memintaku sesuatu.

"Kau masih ingat masakanmu yang pedas tapi creamy itu?"

"Oh ya?" jawabku.

"Bisa kau buatkan lagi? Tapi lebih seimbang. Aku ingin tahu kalau rasa itu bisa benar-benar jadi."

"Untuk apa?"

"Untuk keyakinan saja," katanya pendek. "Aku ingin tahu apakah kau bisa menciptakan rasa yang terus ingin aku cicipi."

Aku menuliskannya kembali di kertas baru. Takaran kuperbaiki, tekstur kuatur ulang. Tanganku sempat tergores saat terburu-buru mengiris cabai rawit merah. Beberapa hari kemudian, aku terkena uap panas dari krim yang belum mendidih. Tapi tak apa. Aku mengira, barangkali ini bentuk keterlibatan dua orang.

Lalu malam itu tiba. Ia duduk di tempat biasa, tak banyak bicara. Aku menyajikan hidangan itu, lengkap dengan kehati-hatian yang tak tertakar. Saat mencicipi, ia tersenyum samar sambil mengangguk singkat. Tapi tak ada komentar seperti biasanya. Aku menunggu, memandangnya penuh tanya.

"Kau tidak bilang apa-apa, apa rasanya sudah sesuai?" kataku akhirnya. "Aku membuatnya dengan penuh cinta," tambahku sambil menyiapkan minumnya.

Ia meletakkan sendok, bersandar. Lalu tertawa ringan. "Han, kita ini hanya kerja sama, bukan?" ucapnya.

Aku tak langsung menjawab. Ia melanjutkan, "Kau masak, aku menikmati. Tak perlu menambahkan bumbu berlebihan." Lalu, sambil tertawa kecil, ia menambahkan, "Kau temanku. Teman yang... ya, agak terlalu niat."

Teko di genggamanku berisi teh hangat menjadi sangat dingin. Tanganku diam. Suara oven seperti menghilang. Hatiku... serasa digantikan es batu yang gagal disajikan.

Aku tersenyum paksa dan membalikkan badan. Kupikir ia akan diam, tapi justru mulai bercerita tentang tempat-tempat lain yang katanya juga nyaman, juga sering ia kunjungi. "Aku senang bisa punya banyak tempat untuk singgah," katanya bangga.

Dan aku?

Yang menyimpan ratusan resep hanya untuknya?

Yang tiap pagi bangun untuk menyapu lantai sebelum ia datang?

Yang menutup buku resep agar hanya ia yang boleh mencicipi lebih dulu?

Ternyata aku cuma satu titik di peta persinggahan yang tak pernah benar-benar ia hafal.

Malam itu, dapurku tiba-tiba dingin. Bukan karena kompor mati, tapi karena ada sesuatu dalam diriku yang perlahan padam. Tak biasanya seperti ini. Sepulangnya pria itu, aku duduk sendiri di meja yang biasanya ia tempati. Cangkirnya masih di sana, meninggalkan bekas bibir di pinggiran porselen, dan aku... meninggalkan bekas air mata di celemek yang kusimpan rapi.

Aku menangis. Bukan karena kehilangan—karena dari awal pun aku tak digenggam. Yang patah bukan hati, tapi harapan yang tumbuh liar dan kini gagal panen. Aku marah, tapi pada diriku sendiri. Pada caraku percaya. Pada betapa naifnya aku membaca isyarat tanpa lampu lalu lintas.

"Apa aku terlalu niat?"

"Apa aku terlalu bodoh menyangka ini resep berdua?"

Namun pagi tetap datang. Dan aku, tetap bangun. Dapur ini masih sama. Tapi kali ini, tak ada yang kutunggu. Aku tetap menyeduh teh, kali ini tanpa balok gula. Pahit, tapi penuh pelajaran.

Kompor pun menyala, bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk diriku sendiri yang akhirnya sadar bahwa aku layak hangat, meski tak dipeluk siapa-siapa.

Sembari menanti air mendidih, kuletakkan buku resepku yang tak pernah kujual di laci kecil di ujung dapur. Tempat aku biasa menyimpan rahasia paling lembut dan rasa yang tak sempat dihidangkan.


Karya: Shihatud Diniyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak