Tersentak Kenyataan

Dok. Google

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB ketika Nadia memasuki halaman rumah dengan wajah yang sudah kusam dan seragam sekolah yang kusut. Baru dua langkah ia memasuki rumah, ibunya langsung memarahinya.

"Jam segini baru pulang, dari mana saja kamu Nadia?" Bentak Bu Sisil, ibunya. 

"Habis ikut ekstrakurikuler menjahit ma."

"Yasudah lekas bersih-bersih sana, lain kali langsung pulang aja jangan pulang sampe sore begini." timpal Bu Sisil sedikit mereda.

Nadia hanya diam dan segera memasuki kamarnya. Ia merasa ibunya sering marah akhir-akhir ini padahal cuma hal-hal sepele.."Mungkin karena sedang berbadan dua, jadi lebih emosional." Pikirnya. Setelah berganti pakaian, Nadia merebahkan dirinya di kasur lalu menatap jarum jam yang berada di tembok warna biru muda kamarnya. 

Sekarang Nadia tengah duduk di kursi sambil membaca buku. Sayup-sayup ia mendengar ayah yang pulang setelah dua minggu di luar kota. Walaupun Nadia rindu, namun ia enggan untuk berjumpa ayahnya walaupun sekadar menyalami tangannya. Entah mengapa, tapi Nadia merasa bahwa ayahnya selalu menjaga jarak setiap kali Nadia ingin mencoba akrab dengan ayahnya. 

Setengah jam berlalu, Nadia berniat untuk mengobrol dengan ayahnya, tapi saat ia berada di depan pintu, ia mendengarkan percakapan kedua orangtuanya.

"Yah... Gimana ya cara kita bilang ke Nadia kalo sebenarnya dia bukan anak kandung kita?" Ucap Bu Sisil. Sontak Nadia menutup mulutnya dengan kedua tangan. 

"Ya... Kita coba bicara baik-baik saja, aku yakin dia akan mengerti. Kita ceritakan saja dengan jujur kalau dulu kita menemukan bayi di halaman rumah kita dan akhirnya kita merawatnya hingga tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar yang kita beri nama Nadia." Jawab suami Bu Sisil.

"Tapi bagaimana kalau nanti dia tidak bisa menerima ini semua? Aku ga mau dia pergi... Aku menyayanginya, dia anak yang berbakti ayah," lanjut Bu Sisil. Air mata mulai berkumpul di pelupuk mata Nadia.

"Aku tahu, dia anak yang baik, rajin, ceria dan berbakti tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa sedekat hubungan ayah dan anak kandung dengan Nadia."

"Iya ayah, aku tahu," belum selesai Bu Sisil berkata, Nadia keluar dengan berderai air mata.

Brakkkk.. suara pintu dibuka dengan kencang.

"Jadi, selama ini... a-akuu hanya a-nak yang dibuang?" Tanya Nadia di sela-sela tangisnya. Bu Sisil dan suami hanya saling pandang lalu menunduk. Tanpa pikir panjang, Nadia segera berlari keluar rumah tanpa membawa apapun.

"Nadiaa tunggu, jangan pergiiii," Teriak Bu Sisil.

"Tidak, Tidaaaaakkkk!" Teriak Nadia, ia segera terbangun dari tidurnya. "Rupanya hanya mimpi," ucap Nadia pelan. Setelah menatap jarum jam tadi ternyata Nadia tertidur. Mimpi itu membuat keringat Nadia bercucuran dan tenggorokannya terasa sangat kering, akhirnya ia berinisiatif untuk mengambil air minum di dapur. Melewati ruang keluarga, ia mendapati ayahnya tengah duduk menonton televisi bersama ibunya. Setelah minum, Nadia bergabung dengan ayah dan ibunya. Menanyakan kabar ayahnya yang baru pulang setelah empat hari dinas di luar kota. Obrolan mereka semakin hangat hingga pernyataan itu disampaikan. 

"Ehmm Nadia," ujar sang ayah. Nadia menatap wajah ayahnya.

"Ada sesuatu yang mau ayah dan ibu sampaikan."

"Ayah beruntung sekali punya anak sepertimu. Kamu anak yang pintar, rajin, suka membantu, dan menurut apa yang ayah dan ibu katakan. Pesan ayah... teruslah berbuat baik dimanapun kamu berada dan apapun keadaannya ya. Selagi kamu bisa maka tolonglah orang lain dan jangan pernah bosan untuk berbuat baik karena itu akan memberikan kesan yang baik untuk orang lain ya nak." Pesan ayah sambil mengusap lembut rambut panjang Nadia.

Nadia tersenyum dan memeluk ayahnya. Nadia memang anak yang baik, ia suka membantu orang lain terlebih membantu temannya yang kesulitan ekonomi. Nadia sering membawakan temannya bekal agar temannya bisa makan.

"Tapi... sebenarnya ada hal lain yang mau ayah sampaikan,"

"Apa ayah?" Nadia menatap mata ayah dan ibunya bergantian, sudah tidak sabar dengan apa yang akan mereka sampaikan.

"Kamu sebenarnya bukan anak kandung kami," Ayah memeluk Nadia erat.

Nadia merasakan hatinya tersayat. Sangat sakit. Air mata mulai keluar dari kadua matanya, bagaimana mungkin apa yang tadi ia mimpikan bisa menjadi kenyataan? Bagaimana mungkin orang tuanya menutupi rahasia ini dari Nadia kecil hingga ia duduk di bangku sekolah kelas sepuluh SMA?

"Jangan khawatir nak... Kami tetap menyayangimu, tetaplah jadi Nadia yang kami kenal ya." Itu suara ibunya. Namun keterkejutannya membuat suara ibunya terdengar amat lirih. Nadia diam mematung dengan badan gemetar dan air mata yang semakin deras mengalir dari matanya. Ia masih terpaku dengan kenyataan yang terjadi, ini seperti mimpi. Mimpi yang tadi hadir dalam tidurnya. Lalu tiba-tiba Nadia merasakan kepalanya sangat pusing, pandangannya kabur dan akhirnya matanya tertutup, Nadia pingsan dalam pelukan ayahnya.


Oleh: Lailatul Maghfiroh 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak