Polemik UKT Menimbulkan Berbagai Kritik, Erfina Purwaningsih: Saya tidak mampu Pak/Bu

 

Dok. Foto ma'had al-jami'ah UIN Walisongo

Semarang, lpmedukasi.com - Nominal UKT yang tinggi, ditambah dengan adanya biaya wajib ma’had menuai berbagai kritik. Salah satunya di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Banyak Calon Mahasiswa Baru (CAMABA) yang mengkritik masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dirasa kurang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.

Banyak CAMABA FITK jalur UM-PTKIN yang menyampaikan keresahannya melalui survei yang dilakukan oleh Senat Mahasiswa (SEMA) FITK pada Jum'at-Selasa (13-18/07/2023).

CAMABA Program Studi (Prodi) Pendidikan Islan Anak Usia Dini (PIAUD), Zuhra Nabila  mengatakan bahwa ia nyaris tidak melanjutkan kuliah karena mendapat UKT golongan 4, terlebih lagi ibunya tidak bekerja.

"Gaji ayah saya pas-pas an, tetapi mendapatkan UKT golongan 4. Ibu saya juga tidak berkerja. Bahkan saya nyaris tidak berkuliah karena besaran UKT yang memberatkan. Apalagi ditambah biaya ma'had 3 juta," ujarnya.

CAMABA lain, Nur Jamilah dari prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) juga mengatakan bahwa penghasilan orang tuanya tidak menentu dan terkadang tidak ada pemasukan dalam sehari.

"Orang tua saya adalah pedagang yang penghasilannya tidak besar dan tidak menentu. Terkadang sehari hanya mendapatkan Rp10.000, bahkan pernah tidak ada pemasukan. Biaya  ma'had yang tinggi membuat kami kewalahan," ucapnya.

Erfina Purwaningsih, CAMABA prodi PGMI juga mengeluhkan bahwa ia tak mampu untuk membayar UKT.

"Saya tidak mampu Pak/Bu untuk membayar biaya UKT sebesar itu. Bapak saya hanya  buruh tani dan saya memiliki 2 adik yang masih bersekolah. Saya bukan dari golongan orang mampu, penghasilan orang tua kurang dari 2 juta, sedangkan untuk ke Semarang  juga membutuhkan banyak biaya. Saya kasihan melihat orang tua saya Pak/Bu," ujarnya.

Selanjutnya, Rosyidah Nurul Fitriyah CAMABA prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) juga merasa keberatan karena pendapatan orang tua tidak menentu dan harus menunda pembayaran administrasi ijazah adik.

"UKT saya Rp4.074.000 sedangkan pendapatan orang tua tidak menentu setiap minggunya, ditambah lagi masih ada tanggungan untuk melunasi administrasi ijazah adik," ungkapnya.

Lain lagi dengan kisah Nasywa Aulia, CAMABA prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) yang putus harapan karena besarnya pengeluaran untuk membayar UKT dan ma'had.

"Saya dan keluarga sangat tidak sanggup untuk membayar UKT yang begitu tinggi. Ayah saya bekerja sebagai driver ojek online dan ibu saya  berprofesi sebagai pegawai swasta. Ayah saya terkena stroke selama 2 bulan dan sekarang sedang masa pemulihan. Besarnya pengeluaran untuk kuliah di UIN Walisongo Semarang menjadi salah satu alasan pupusnya harapan untuk kuliah, sehingga saya memutuskan untuk mengundurkan diri," terangnya.

Sama halnya dengan Nasywa, Sinta Amelia CAMABA prodi PGMI juga mengundurkan diri karena biaya UKT dan ma'had yang begitu mahal.

"Biaya UKT dan ma'had yang tinggi menjadi kendala saya setelah diterima di UIN Walisongo Semarang. Penghasilan orang tua saya dibawah nominal UKT, ditambah biaya ma'had 3 juta. Hal ini membuat kedua orang tua saya keberatan, sehingga harus mengundurkan diri dari UIN Walisongo Semarang," pungkasnya.       

     

Tim Redaksi LPM Edukasi

                                                                         

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak