Doc. Internet |
Sebentar lagi, Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) akan
berlangsung. Itu berarti periode kepengurusan lembaga legislatif dan eksekutif
di lingkungan jurusan, fakultas dan Universitas akan berakhir. Dengan
berakhirnya masa kepengurusan ini, tentu perlu ada peninjauan ulang kembali,
apa yang sudah dilakukan lembaga tersebut untuk mahasiswa.
Tentu kita kemudian menanyakan, apa yang sudah dilakukan
lembaga tersebut untuk mahasiswa? Mungkin pertanyaan tersebut akan dijawab oleh
lembaga terkait dengan jawaban: kami sudah melaksanakan program-program yang
sudah kami rancang. Sampai di sini, kita kemudian bertanya kembali, sebenarnya
program-program itu untuk siapa? Pasti jawabannya adalah untuk mahasiswa. Hanya
saja, mahasiswa yang mana kah maksudnya? Barangkali maksudnya adalah mahasiswa
yang memiliki uang untuk membeli tiket konser Sheila on7, atau mahasiswa
yang berburu sertifikat untuk kelulusan, atau mahasiswa baru; karena menjadi
kepanitian PBAK, atau jangan-jangan untuk mahasiswa beberapa golongan saja.
Kemudian, pertanyaan kita berlanjut dengan, mengapa lembaga
perwakilan mahasiswa ketika menjabat selama ini terkesan seperti orang yang
terluka dan setelah periode berakhir akan sembuh? Atau analoginya terbalik,
lembaga mahasiswa sekarang ini, sembuh ketika menjabat dan sakit ketika lengser
dari jabatanya. Jadi analogi pertama, lembaga perwakilan mahasiswa seperti
terseok-seok dan keberatan ketika memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Tapi ketika
sudah lengser seperti sembuh dari sakitnya, tidak peduli apapun. Sedangkan analogi
sebaliknya, lembaga perwakilan mahasiswa sehat dengan berkobar-kobar
mengatakan; ini demi kepentingan mahasiswa. Tapi setelah mereka lengser; sudah
tidak peduli lagi dengan apa yang dialami oleh mahasiswa atau sakit—karena
kebingungan mau melakukan apa, sudah terbiasa menjadi lembaga event organizer
yang selalu mengadakan acara-acara.
Mungkin kita bisa menyandarkan itu pada permasalahan Uang
Kuliah Tunggal (UKT) yang besarannya dari tahun ke tahun semakin menanjak tajam,
banyak yang tidak tepat sasaran dan fasilitas-fasilitas kampus yang sangat
kurang memadai. Nyatanya permasalahan tersebut abai diperhatikan oleh lembaga
terkait. Ataukah permasalahan mahasiswa bukan menjadi prioritas utama? Karena
itu tidak masuk dalam program kerja yang telah dirancang oleh para perwakilan
mahasiswa. Jawabannya hanya Tuhan dan perwakilan mahasiswa saja yang tahu.
Dari sini, kemudian kita menduga, jangan-jangan yang
dilakukan lembaga perwakilan mahasiswa hanya sekadar formalitas saja, hanya
melaksanakan program-program kerja, tanpa menyentuh akar rumput permasalahan
yang dihadapi mahasiswa. Atau bahkan, itu hanya untuk kepentingan segolongan
orang saja.
Sebenarnya, apa masalahnya? Apakah tuduhan permasalahan ini
secara semena-mena kita alamatkan kepada mahasiswa yang dianggap apatis; karena
tidak ikut mencoblos di Pemilwa, tidak mengikuti konser, tidak ikut
seminar-seminar yang diadakan, tidak mendukung lembaga perwakilan mahasiswa
dengan menghadiri dan melakukan apapun yang sudah diagendakan. Jika masih
memandang seperti itu, itu merupakan pandangan yang sangat picik. Membebankan
semuanya kepada mahasiswa yang tidak mengerti apapun dan lelah dengan siklus
yang membosankan. Alangkah lebih baiknya, kalau para perwakilan mahasiswa itu
memandang kembali dirinya sendiri. Daripada menyalahkan orang lain yang menjadi
apatis—karena tanpa disadari keapatisan mahasiswa adalah akibat ulah mereka
sendiri.
Memandang ini, perlu adanya peninjaun ulang, apakah sistem
demokrasi kita sudah mewujudkan yang dicita-citakan? Dengan slogan basi “dari
mahasiswa, untuk mahasiswa dan oleh mahasiswa”. Atau, jangan-jangan sistem
demokrasi yang kita anut sudah cacat sejak dalam konsepnya. Atau mungkin, kita
saja, yang tidak becus menjalankan konsep demokrasi yang suci itu.
Secara sadar, mari kita berharap lagi kepada perwakilan
mahasiswa yang baru, dan melupakan perwakilan mahasiswa yang lama. Sebab,
sebentar lagi perwakilan yang lama akan purna, dan perwakilan yang baru meminta
untuk dipilih. Anggap saja, film sudah berakhir, dan kita harus membeli tiket
lagi untuk menonton film yang lain lagi. Mari kita tonton lagi.
_Redaksi_
_Redaksi_
Tags
Editorial