Dok. internet |
Semarang, EdukasiOnline –
Gadis asal Kudus yang keterima di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
merasa terkejut dengan nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diperuntukannya.
Jurusan Sosiologi yang ia ambil melalui jalur SNMPTN, membuatnya sedikit gusar.
Ia merasa jika UKT yang ditentukan oleh
kampus cukup memberatkan keadaan ekonomi keluarganya. Pasalnya, selama ini
bapaknyalah yang bekerja
sendiri untuk menghidupi keluarga.
Gadis itu bernama Dwi Erna Susilaningtiyas,
karena kegundahan yang dialami, akhirnya ia mendatangi kampus untuk meminta
keringanan UKT. "Jumat kemarin saya mendatangi kampus bersama bapak untuk
meminta keringanan, sebelum membayar UKT," tuturnya pada Selasa (8/5) saat
melakukan verifikasi.
Ia bercerita bahwa
pihak kampus tidak bisa membantu untuk meringankan beban UKT yang sudah
ditanggungkan padanya. "Katanya kampus bisa membantu ketika nanti
melakukan pembayaran di semester berikutnya," jelasnya.
Berkat usaha dan kegigihan bapaknya, ia
tetap melakukan pembayaran UKT sekitar empat jutaan. "Ya bagaimana lagi,
kalau untuk anak ya diusahakan lah, meski pontang-panting kesana-kemari," tutur bapak dari Dwi yang
menemaninya saat verifikasi.
Melambungnya UKT
Menurut Imam Taufik selaku Wakil Rektor
II, beban UKT setiap mahasiswa
ditentukan oleh input data diri yang dilakukan oleh mahasiswa sendiri. Jadi, tidak ada campur tangan
dari birokrasi, sebab semua sudah dibaca sistem. Semua data diri yang diunggah, itu yang digunakan untuk
menentukan UKT, semua berdasarkan sistem,” terang Imam Taufik saat ditemui di
kediamannya, Selasa (05/06) lalu.
Lelaki berkaca mata ini, melanjutkan
penjelasannya, ternyata ada tipe mahasiswa baru yang bisa ia baca dalam mengisi
data diri. Pertama mereka yang benar jujur melakukan pengisian, ada yang
meninggikan penghasilan orang tuanya sebab malu, bahkan sampai ada yang
kebingungan dan tidak mengisi.
Di sini letak permasalahannya, bagi yang
tidak mengisi data diri maka mendapatkan UKT tinggi. Berdasarkan keterangan pak
Imam begitu sapaan akrabnya, ada sekitar lima persen mahasiswa baru yang tidak
melengkapi data dan terpaksa harus mendapat UKT tinggi. Apabila pengahasilan
orang tua tidak diisi, dapat mengakibatkan mahasiswa tersebut masuk ke dalam
golongan ke-5,” jelas lelaki pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah tersebut.
Kerja sistem yang ada sudah
disesuaikan dengan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 211 tahun
2018. Sesuai yang tertulis dalam Kemenag
tersebut, besaran UKT UIN Walisongo telah ditentukan dalam 7 grade, berubah dari tahun sebelumnya
yang hanya 5 grade.
Perbedaan besaran UKT dalam setiap grade salah satunya dapat dipengaruhi
oleh program studi (Prodi) dan fakultas yang diambil mahasiswa. Seperti di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) sangat berbeda dengan Fakultas
Syariah dan Hukum (FSH). Apabila tahun
kemarin, FSH sampai lima juta, untuk saat ini sebab akreditasinya turun
khususnya pada Prodi Ilmu Hukum maka UKTnya pun
diturunkan. "Akreditasi sangat mempengaruhi besaran UKT," jelas
dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum)
ini.
Bukan hanya berkaca pada akreditasi, penentuan besaran UKT pada tiap gradenya
lagi-lagi berdasarkan penghasilan orang tua yang menjadi pertimbangan utama.
Sebagai penanggung jawab bidang administrasi, Imam Taufik menjelaskan bahwa
pendapatan orang tua berpengaruh hingga 60 persen, sedangkan unsur yang lainnya
hanya 40 persen.
UIN
Walisongo, Bukan “Kampus Rakyat”
Minggu kemarin dunia sosial sempat ramai
mencibir Wakil
Rektor II perihal pernyataannya mengenai kampus
pemerintah. Berikut kutipan berita yang dirilis lpmmissi.com:
Sebagai kampus yang terletak di
wilayah Kota Semarang, UIN Walisongo terkenal akan uang kuliah yang mampu
dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Terlihat, banyak mahasiswa UIN
Walisongo yang memiliki orang tua petani, buruh, dan pekerjaan serabutan
lainnya. Oleh sebab itu, UIN Walisongo terkenal akan sebutan “Kampus Rakyat”,
sebuah perguruan tinggi yang mampu dijangkau oleh banyak kalangan rakyat
miskin.
Namun, hal tersebut dipatahkan oleh
Imam Taufik dengan statementnya “Siapa yang bilang ini kampus rakyat? Ini bukan
kampus rakyat, ini kampus pemerintah, tidak ada istilah rakyat-rakyatan”
Ketika ditemui oleh LPM Edukasi, Imam Taufik
menjelaskan alasan pernyataan tersebut dapat terlontar. Baginya sudah jelas UIN
itu ada embel-embel negerinya jadi kampus ini kampus pemerintah “UIN Walisongo
itu kampus negeri, yang namanya negeri ya milik pemerintah”, ungkapnya.
Selain itu, Imam Taufik pun menjelaskan
bahwa salah satu sumber dana yang
didapatkan untuk pemenuhan sarana prasarana (sarpras) di UIN Walisongo itu dari
pemerintah, dari dana Rupiah Murni (RM). RM tersebut digunakan untuk sarpras
dan gaji para dosen begitu juga untuk pejabat kampus. “Sumber dana di UIN
Walisongo itu ada UKT, Non UKT, RM, dan BUPTN. Dana UKT hanya digunakan pure untuk kebutuhan mahasiswa, semua
akan kembali ke mahasiswa”, terangnya
dengan santai.
Kemudian menilik permasalahan banyaknya mahasiswa
yang mengundurkan diri setalah dinyatakan lolos masuk UIN Walisongo, lelaki
berkaca mata tersebut mengimbau, apabila sejak awal merasa tidak kuat membayar
UKT, lebih baik tidak
memaksakan. "Saya jelaskan lagi,
bukan saya, pak Rektor, atau dosen siapa yang
menentukan mahasiswa mendapatkan UKT berapa, semua tergantung sistem," tutur
Imam Taufik tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.
Kemudian ia menambahkan, apabila
mahasiswa merasa keberatan dengan UKT yang ditanggung, birokrasi memberikan
kemudahan kepada mahasiswa untuk melakukan banding UKT. “Jika merasa keberatan,
silahkan ajukan banding di waktu yang ditentukan. Tapi, dia harus jadi
mahasiswa UIN Walisongo terlebih dahulu," kata Imam Taufik dengan tawa yang mengembang.
Lalu Imam Taufik
juga membeberkan bahwa jadwal banding akan dilaksanakan pada
kisaran bulan Oktober
sampai November 2018. Jadi untuk registrasi
semester selanjutnya sudah menggunakan revisi UKT dari hasil banding. Dan
lagi-lagi penentuan turun atau tetapnya UKT berdasarkan input data diri yang
dilakukan. "Apabila dalam pengisian tidak ada perbedaan maka UKT akan
tetap seperti semula," tandasnya.
Sebagai salah satu alumni UIN Walisongo,
Imam Taufik menyadari bahwa dulu saat ia kuliah, uang kuliahnya termasuk
standar, tidak semahal sekarang. “Namun, apa boleh buat. Besaran UKT yang
menentukan dari pusat, kami hanya sebagai eksekutor. Orang boleh berkata ini
kampus rakyat, tapi pada dasarnya ini kampus milik pemerintah,” tegasnya. (Edu_On/Nil-Ska)
Tags
Berita