Tentara yang Menolak menjadi Batu

Dok. Internet

Judul                                                     : Land of Mine
Tanggal rilis                                         : 7 April 2016 (Jerman)
Penulis naskah dan sutradara         : Martin Pieter Zandvliet
Bahasa                                                  : Inggris, Denmark, Jerman
Durasi                                                   : 1 jam 41 menit

Sesuatu yang klise jika film mengangkat kisah tentara atau lebih tepatnya heroisme. Adegan tembak-menembak akan berjalan sampai akhir. Tentu saja ending dapat dibayangkan, yakni sebuah kemenangan. Sebab itu tujuan film perang dibuat, menciptakan konsep pahlawan dan menunjukkan pada penonton siapa yang berkuasa. Lantas perkiraan saya mungkin ada benarnya, bahwa film peperangan minim amanat. Meskipun ada itu-pun hanya sekilas. Tak terkecuali film peperangan yang berangkat dari sejarah. Banyak ketimpangan dan seolah digenapi melalui satu frame saja.

Mungkin kita tak akan pernah lengkap menyusun frame sejarah. Ia adalah mozaik yang dibangun melalui beberapa perspektif. Perspektif yang disusun dari orang-orang yang menjadi saksi dan lain sebagainya. Tetapi tetap saja, selalu ada pengakuan mengejutkan dalam rentang waktu tertentu terhadap apa yang belum pernah dipandang. Bisa jadi bertentangan atau memperkuat. Itu lah kebenaran objektif.

Dalam setiap film perang, selama ini, kita selalu disuguhi bahwa korban adalah tentara blok barat. Sedangkan, pihak lainnya yakni tentara Nazi adalah simbol kejahatan dan kaum yang aniaya. Apalagi jika dikaitkan dengan tragedi pembunuhan warga Yahudi.

Perspektif itu yang harus digenapi dan disusun mendekati kebenaran. Serta mengatakan jika perang selalu menghasilkan korban di kedua belah pihak. Ini lah yang diangkat dalam film Land of Mine. Film ini seolah membunyikan kembali pepatah lama “menang jadi abu kalah jadi arang”. Film yang meletakkan tentara Nazi menjadi korban dari sebuah peperangan.

Garis Jalan

Latar belakang film Land of Mine mengambil saat perang dunia II yaitu pada tahun 1945. Tahun yang menurut sejarawan Jepang sebagai tahun keberuntungan untuk para negara jajahan. Mulai dari sekutu meluluhlantahkan Jepang yang berimbas pada kemerdekaan Indonesia. Hingga tahun yang juga membawa keberuntungan bagi Denmark, tempat dimana setting tempat dan alasan film dibuat.

Denmark lolos dari invasi Jerman. Hal ini ditunjukkan pada pembukaan film, penulis skenario menonjolkan betapa emosional tokoh utama. Ia memukuli para tentara Jerman yang membawa bendera Denmark saat meninggalkan daerah tersebut. Tokoh utama kita sebut saja sebagai Sersan Kepala (baca: serka) dengan bentakan ia menegaskan bahwa Denmark adalah negaranya.

Gambaran ini seperti tentara pada umumnya. Tentara yang menggambarkan kecintaan pada negara melalui simbol bendera. Kita juga mendapat gambaran bahwa tentara hidup di garis kedisiplinan, bahwa garis jalannya melalui perintah atasan. Alih-alih menjadi alat pertahanan, pada kenyataannya, mereka sering menjadi robot. Mereka sering terjebak pada kekeruhan perintah atasan yang tak jauh dari kepentingan politik praktis.

Hal berbeda ingin ditunjukkan di film ini. Film yang memberi porsi bahwa tentara harus menjadi manusia yang tak gampang disetir.

Kisah pun Dimulai

Kisah dimulai melalui misi pembersihan ranjau di sepanjang pantai tepi barat Denmark. Misi ini merupakan misi balas dendam Denmark atas Jerman. Naasnya, bukan tentara generasi tua, melainkan para anak muda Jerman yang menjalani wajib militer dan tejebak dalam masa kekalahan.

Kita akan melihat 12 prajurit Jerman muda yang tertawan bergulat pada tokoh sentral yakni Serka. Mereka harus menghadapi Serka yang keras. Selama tiga hari, mereka tak mendapat makan dan jatuh sakit, bahkan mereka harus membersihkan ranjau dengan tangan kosong. Sampai – sampai ada yang meledak akibat muntahan yang dikeluarkan terkena pemicu ranjau.

Kejadian itu mendorong salah satu prajurit Jerman berbicara pada Serka dengan aksen serius. “Mungkin boleh saja patuh, tapi bukankah kejadian ini seharusnya menyentuh hatimu?” ujarnya. Sementara korban terus berjatuhan. Kawan-kawannya meledak dan hanya diiming-imingi pulang ke Jerman setelah misi selesai.

Film ini menunjukkan pergulatan secara psikologis sang Serka. Ia harus mematuhi negara, membiarkan mereka kelaparan tanpa pernah menepati janjinya pada mereka. Di sisi lain si Serka menghadapi hati kecilnya. Di mana ia merasa gelisah pada setiap kematian yang terjadi dan harus melakukan misinya dengan benar.

Serka memilih sesuatu yang sulit. Ia memilih yang kedua. Memulangkan mereka secara diam-diam dan melawan perintah atasan. Ia menolak menjadi batu. Karena begitulah manusia seharusnya, terusik akan kemanusiaan yang dijajah.

*)Penulis adalah Abdul Aziz Afifi, kru LPM Edukasi tahun 2014

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak