Saat-Saat Sebelum Kelas Berakhir



ilustrasi: edu/aziz


Menyebalkan. Aku tak habis pikir mengapa harus menunggu sejam-an untuk masuk kelas yang sungguh membosankan. Di dalam, aku pun tak melakukan apapun kecuali duduk dan sesekali batuk – batuk. Yang duduk berjajar di depan adalah orang – orang bodoh, mereka tak dapat disebut temanku. Mereka membual soal religi. Perkataan mereka tak bisa dipercaya. Tak ada yang bisa dipercaya di kelas ini. Maksudku, kau tak dapat percaya dengan orang bodoh.

Sejak sebelum masuk, aku benar – benar tak bergairah. Entah, aku tak tahu mengapa, yang jelas kelas ini penuh orang konyol. Astaga. Mengobrol, menelepon ibu, melamun atau apalah. Aku hampir benar – benar jadi sinting. Tiba – tiba aku ingin beli bensin dan membakar seisi kelas. Jika saja terpikirkan sedari tadi, sudah pasti kulakukan. Sungguh. Aku tidak bohong.

Memikirkan itu membuat aku jadi tiba – tiba bergairah. Aku ingin iseng ke ‘teman’ku, tapi kuurungkan. Aku duduk di posisi paling belakang, dari sini aku dapat melihat semua yang orang lain lakukan. Melihat mereka tak lebih baik dari melihat seisi kelas ini terbakar. Aku jadi ingin benar – benar membakar kelas ini. Aku pamit keluar kepada orang paling tua– kurasa –di kelas. Aku menuju warung bensin terdekat.
***
Kelas tersisa tigapuluh menit. Aku kembali. Aku tak jadi beli bensin, bukan karena uangku tak cukup. Melainkan tiba – tiba aku ingin ke toilet. Ya Tuhan. Sungguh, kadang aku sangat kekanak – kanakan, kadang aku bisa jadi dewasa lebih dari orang yang paling dewasa. Aku tak bercanda. Buktinya? Ya,  yang barusan aku ceritakan. Kaupikir, aku tak jadi beli bensin hanya karena ingin ke toilet?

Sekalipun bosan, aku punya banyak hal untuk dipikirkan atau dilakukan. Tidur misalnya. Tapi orang disebelahku, menggangguku sedari tadi. Aku tak ingin menyebut namanya. Kakinya menendang – nendang kakiku sejak aku kembali dari keluar. “Hentikan, Bodoh,” tapi ia tak berhenti “Apa kau dengar? Dasar tuli.”

“Aku tidak tuli.”

“Lalu apa?”

“Aku punya nama, Bodoh.”

Aku memilih diam dan dia berhenti. Biasanya, aku akan meneruskannya sampai salah satu dari kami tersungkur. Tetapi, meneruskannya hanya akan membuatku benar – benar sinting. Duduk saja sudah membuatku setengah gila. Jika ibu tahu keadaanku saat ini, sudah pasti dia akan membawaku ke psikiater. Bajingan, penuh lagak, dan sok pintar. Pernah sekali aku kesana, setelah pemakaman ayah selesai, aku pulang dan merebus ikan koi peliharaan adikku. Aku tak memindahkannya ke panci atau apalah, aku merebusnya sekaligus dengan akuarium kacanya hidup – hidup. Saat itu aku ingin sekali melakukannya. Tidak ada hubungannya dengan ayah atau apa sajalah. Adikku menangis dan orang rumah menganggapku gila.

Sungguh ya. Kelas ini benar – benar berisi orang – orang paling konyol yang pernah aku temui. Mereka juga dungu. Seperti bayi. Bayi akan tertawa dan selalu begitu meskipun yang kau katakan sesuatu yang sama sekali tidak lucu. Atau melongo dengan ekspresi lucu yang menggemaskan. Tapi mereka sama sekali tidak lucu. Tiba – tiba aku merasa seperti Holden Caulfield. Jika kau tak tahu siapa dia, kau adalah orang dungu paling dungu. Berhentilah membaca.

Sedari tadi aku hanya duduk dan mencoba tertidur di meja. Menyebalkan. Terlihat dari sudut mataku, orang itu lagi. Namanya Theodore, ya. Aku tak tega membuatmu penasaran. Dia selalu naik pitam jika dipanggil Ted– atau Thed. Entah apa alasannya. Tapi aku suka memanggilnya begitu. Dia sedang usil, kali ini pada seorang ‘teman’ perempuan.

“Ted, hentikan.” Dia tidak mendengarkan. Dia ini salah satu bajingan paling bebal yang pernah kutemui. Meskipun tubuhnya agak lumayan, tapi bodohnya, ya Tuhan. Dia pasti kesasar jika kau tinggalkan di Times Square. Saking bodohnya dia tidak akan tanya jalan pada siapapun. Sungguh.
“Kau tuli atau apa?” Jika lebih sedikit saja, orang yang paling tua di depan pasti mendengarku.
Ted menghentikannya, tanpa membalas perkataanku. Dasar keparat. Oh ya, aku bukan membela perempuan itu. Suaranya itu, astaga. Aku lebih baik mendengar siaran statis radio sampai mati daripada mendengar ia mendesah saat diusili. Dia juga tidak cantik. Kau bisa membandingkannya dengan jalan terjal, berbatu. Maksudku, wajahnya itu. Ah sial.

Tiba – tiba aku ingin membakar kelas ini, lagi.
***


Aku berhasil membuat seisi kelas membuatku berakhirpekan di rumah sakit.


oleh: A.A Prayoga 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak