Semarang, EdukasiOnline-- Bertepatan
pada hari toleransi sedunia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
Agama Komisariat Wahid Hasyim yang bekerjasama dengan Forum Komunikasi Umat
Beragama Jawa Tengah (FKUB Jateng) dan Segi Film mengadakan acara “Refleksi
Hari Pahlawan dan Hari Toleransi Sedunia” yang bertempat di aula gedung C lantai 3
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Kamis (16/11).
Pada Acara ini, panitia penyelenggara memutarkan sebuah film
dokumenter berjudul “Ahu Parmalim”. Film ini bercerita tentang seorang remaja
penghayat Parmalim di tanah Batak yang menjalani dua peran besar dalam
hidupnya.
Harmoni dalam Perbedaan
Sebelum film diputar, Sekretaris Matakin Jateng Andi
Gunawan sedikit menyampaikan refleksinya pada acara ini. Ia berpendapat,
untuk menjadi pahlawan di zaman sekarang cukuplah sederhana, yaitu cukup
melakukan yang terbaik. “Yang jadi mahasiswa, ya jadi mahasiswa yang baik. Yang
jadi sesepuh, ya mencontohi yang baik,” ujarnya.
Koh Andi, sapaan akrabnya juga menjelaskan terkait cara menumbuhkan
rasa cinta tanah air dan toleransi.
Menurutnya, kedua hal tersebut mampu dimulai dengan berbakti kepada orang tua
serta menyebarkan virus perdamaian di semua kalangan. “Intinya kita harus
harmoni dalam perbedaan,”tuturnya.
Diskriminasi Terhadap Agama Lokal
Setelah film selesai diputar, Ubaid, Dosen Unwahas sekaligus
peneliti Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) mengomentari tentang film “Ahu
Parmalim. “Film ini merupakan potret kecil sebuah kepercayaan lokal yang ada di
Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ubaid menyampaikan bahwa sesuai hasil penelitian yang
dilakukan oleh eLSA, masih banyak kasus penghayat kepercayaan lokal yang masih
kesulitan dalam proses administrasi Negara, seperti pembuatan akta kelahiran dan
pernikahan. “Mereka sudah melakukan pernikahan secara adat, akan tetapi tidak
diakui oleh Negara karena alasan bukan termasuk agama resmi,” jelasnya.
Ubaid juga kembali mencontohkan kasus diskriminasi lain terhadap
salah satu kepercayaan di Indonesia, yaitu yang terjadi pada aliran Sapodarmo
di Brebes Jawa Tengah. “Beberapa masyarakat Brebes ada yang menolak salah
seorang penganut aliran Sapodarmo dimakamkan di Pemakaman umum, sehingga
penganut Sapodarmo ini harus dimakamkan di belakang rumah,” ujarnya.
Ubaid menambahkan jika
fenomena keberagaman di Indonesia ini memanglah sebuah keniscayaan. “Kalau
munculnya konflik karena perbedaan, carilah titik persamaanya. Maka kita akan
mudah menerima,”pungkasnya.
Tak Sekedar Mengenalkan
Parmalim
Selain dua pembicara yang
telah disebutkan tadi, acara ini juga menghadirkan NC Octavian seorang pengamat
film. Octavian menyampaikan bahwa pembuat film “Ahu Parmalim” tak sekedar ingin
mengenalkan adanya ajaran parmalim di daerah batak toba. “Setelah kita menonton
film ini ternyata banyak hal positif yang kita dapat, salah satunya tentang
budaya batak,” tuturnya.
Octavian juga mengatakan,
jika orang batak yang kita kenal keras ternyata salah besar. Terbukti di dalam
film tersebut mereka sangat ramah dan toleran terhadap semua agama. “Ternyata
mereka ini bukan berwatak keras sikap mereka, akan tetapi pada kemauan dan
cita-cita mereka,” ungkapnya.
Di sesi akhir diskusi,
Octavian berharap generasi sekarang mampu menebar pesan perdamaian, muali dari
menghargai dan bertoleransi kepada semua agama dan suku di Indonesia. (Edu_On/Riz)
Tags
Berita