Foto: Edu_On/ Ziz |
“....Dia tidak puas. Dia terus mencoba. Sampai halaman itu penuh dengan gambar-gambar wajah. Dia agak kesal. Dia berjanji setelah membunuh pembunuh Bapak kelak, dia akan melukis. Dia akan gambar banyak-banyak pembunuh Bapak....”
Ini adalah kutipan
dari cerpen berjudul Menggambar Pembunuh
Bapak, cerpen tersebut seolah menghadirkan perlakuan sadis dari seorang
penulis terkait dengan apa yang ada di benaknya. Karena arti pengarang menurut
Rene dan Austin dalam Teori Kesussastraan
adalah, mereka yang menuliskan kegelisahannya, mengganggap kekurangan, dan
kesengsaraan menjadi tema besar dalam karyanya. Dengan begitu, seorang penulis
akan lebih intim berbicara pada kita (red: pembaca) melalui tulisannya.
Dari pendapat ini,
kita bisa melihat bahwa fungsi sastra seolah tak ada habisnya menjadi medium
tersendiri dalam menorehkan gagasan. Menjadi medium yang tidak ingin melupakan
peristiwa kecil begitu saja. Beginilah Perempuan
Pala karya Azhari menunjukkan pada kita, bagaimana sastra tetap berdiri
pada seni bertutur dan menonjolkan diri sebagai medium perekam peristiwa.
Buku yang di klaim
sebagai serumpun kisah lain dari negeri bau dan bunyi ini memuat sebanyak 18
kisah. Asumsi saya, mungkin saja klaim negeri “bau” adalah Nusantara. Ruang
kemungkian itu merujuk pada sanjungan Giles Milton saat membuka paragraf
bukunya yang berjudul Pulau Run
Magnet Rempah-Rempah Nusantara Yang Di Tukar Dengan Mahattan. “Pulau
itu benar-benar tercium. Sebelum ia terlihat. Ada aroma segar dalam udaranya
dalam jarak sepuluh mil sebelum sampai pada pulau itu.” Ucapnya. Kebetulan atau tidak, kedua buku ini mempunyai
sisi yang sama, yakni membahas perihal Pala.
Namun, ruang
kemungkinan itu bisa jua terbentuk dari narasi penulis dalam meletakkan “bau”
sebagai bagian dari cerita ini. Seperti dalam cerita Hikayat Asam Pedas, hampir semua cerita menyajikan suguhan sebuah
kata “bau”. Ini disebabkan karena konsep cerita sendiri bertutur menggunakan
medium makanan. Sedangkan dalam cerita lain, dalam Kupu-Kupu Bermata Ibu terdapat kutipan “....baunya yang macam-macam itu mengingatkanku dengan dapur kita...”.
Lepas dari klaim
tersebut, buku ini mempunyai visi lain yang ingin disampaikan yaitu perlawanan terhadap
kekuasaan senjata. Meskipun, cerita semacam ini telah banyak di teriakkan oleh
beberapa penulis. Contoh saja Afrizal Malna dalam puisinya, Mitos-Mitos Kecemasan. Ia berteriak
dengan lantang tentang sebuah kisah dengan ancaman senjata “kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan
tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami
kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ....”.
Maka kisah ini
semakin menggenapkan pekikan-pekikan dalam perlawanan terhadap senjata. Cerita dari
tahun 2001-2015 dengan beberapa perbaikan ini menonjolkan berbagai bentuk
bercerita yang sederhana, namun tetap memukau dengan menggunakan mata kata yang dimiliki pengarang.
Seperti cerita-cerita Air Raya, Perempuan Pala, Yang Dibalut Lumut dan lain sebagainya yang tak henti memainkan
peran dalam masing-masing halamannya, guna menegaskan kepada pembaca: Begitulah
yang terjadi pada kami.
Ada Yang Tersembunyi
Peran itu akan
jelas ketika kita membaca penjelasan sekilas dalam buku ini. Dalam pengantarnya,
buku dengan tebal 134 halaman tersebut seolah ingin menerangkang realita yang
ada di Aceh, dalam menghadapi sebuah penolakan terhadap pemerintah Indonesia. Kemudian,
pada prespektif lain kita menyebutnya dengan “konflik” Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Fakta itulah yang
disembunyikan dalam kisah-kisah yang ada. Dalam Kupu-Kupu Bermata Ibu misalnya. Kisah yang bercerita tentang
kehilangan atas semua lelaki dirumahnya dan traumatiknya seorang ibu atas
kehilangannya.
Dan disanalah sang
ibu memulai kisah menunggunya. “Aku menunggumu
entah menunggu bapakmu” begitulah narasi itu di buka. Dengan kedatangan
kupu-kupu di gorden membawa tokoh ibu menerbangkan banyak cerita. Mulai dari tentang
kehilangan semua lelaki, hingga traumatik yang begitu melekat pada tokoh sang
ibu.
“Cuma aku sangat marah mengingat kematian abangmu mati
dengan cara begitu. Dengan cara yang tak pernah ku bayangkan. Tapi kini aku
dapat membayangkan matinya abangmu dapat saja menimpa siapa pun. Juga kau. Juga
bapakmu.”
Rasa tragis juga
dihadirkan dengan cara bertutur yang baik oleh Azhari. Dan rasa kehilangan itu
pada akhirnya kita mengetahui sebabnya pada paragraf selanjutnya. Yakni “kautau, buahnya yang hendak kupipihkan itu:
buah sebutan orang kampung kita kini untuk mengganti nama peluru”.
Kisah lain juga
menampilkan hal yang serupa: Sebuah kesengsaraan perang dan penculikan. Cerita Yang Dibalut Lumut berkisah tentang
mayat yang dibunuh dan diapungkan ke sungai tanpa ada alasan yang jelas. Dengan
membuka narasinya “ada yang mengapung
bagai keranjang Musa” dan hampir mendekati pamungkas cerita. Narasi tiba-tiba
semakin di perkuat di akhir cerita “hari-hari selanjutnya kami melihat
tubuh-tubuh yang dibalut lumut yang mengapung bagai keranjang Musa bertambah
banyak”.
Kisah yang
mengambil sudut pandang aku itu juga bercerita soal pencarian anak terhadap
seorang ayah. Melalui mayat-mayat yang terapung di sungai. Dengan menunjukkan
narasi:
“mari mencari bapakmu..kata kakek
beberapa hari kemudian. Kakek mengajakku ke sungai tempat biasa....di sungai
kita mencari bapak”
Juga seperti pada
cerita Kupu-kupu Bermata Ibu, pada
akhirnya Azhari menempatkan sebab-musabab terbunuhnya mayat-mayat itu diakhir.
Dengan narasi yang lebih tegas “Ranie
sendiri yang mengeksekusinya ketika fajar sempurna”.
Agar Lebih Dekat
Dan seperti yang
ditulis dalam pengantar kisah ini- James T. Siegel, Bahwa ia merengkuh semua
yang sulit itu guna mengemakan efek dari konflik itu sendiri. Menghadirkan
kisah dari negeri bau dan bunyi yang lebih sensitif dari pada catatan mata
kita. Visi itulah yang hendak dilempar ke pembaca dengan prespektif yang sangat
sempit. Dari permainan sudut pandang orang pertama hingga ketiga, namun masih sangat
personal. Lantas kita akan “mengeluh” bahwa ini sangat dekat dari biasanya.
Berbeda bila kita
membandingkan buku ini dengan karya Phutut EA. Kisah Seekor Bebek Yang Mati di Pinggir Kali-nya yang menawarkan
prespektif banyak. Permainan sikap
bercerita dari orang golongan menengah sampai sikap golongan bawah, tentu
membuat kelebihan sendiri. Atau posisi seorang pembaca sebagai pendengar yang
baik, itu adalah teknik yang sangat sulit. Tetapi tidak bisa mendekatkan
peristiwa yang dibawanya lebih menyentuh saya, seperti apa yang di lakukan
Azhari.
Namun tetap saja
kedua buku ini ingin melempar cerita yang sama dengan visi yang sama pula,
tentu berbeda latar peristiwa. Semisal pada cerita Doa Yang Menakutkan hampir sama dengan Kupu-kupu bermata Ibu, yakni menunjukkan traumatik yang di
akibatkan karena konflik. Saya
merekam bahwa kisah-kisah semacam ini, tidak ingin menanggalkan peristiwa
sekecil apapun dalam perlawanan terhadap sejarah kekuasaan dengan senjata.
Dalam buku Perempuan Pala semua hampir sempurna.
Kecuali saya menerima bahwa saya harus kehilangan dua halaman cerita. Namun
terlampau sempit jika kita hanya mengutuki kehilangan itu. Yang terpenting
adalah usaha Azhari yang mengingatkan kepada saya perihal ketidakadilan dan
otoritas yang menghamba pada kekuasaan senjata. Selamat membaca.
Judul: Perempuan
Pala
Pengarang: Azhari
Tebal: 134 halaman
Penerbit: Mojok
Resensator: Aziz Afifi
Tags
Resensi