Sebuah Igauan tentang Kemerdekaan



doc. Internet


“Kita tidak merdeka di negara kita sendiri”

Penulis sedikit tersentak dengan apa yang disampaikan oleh salah seorang sahabat. Pagi-pagi, mata masih mengantuk mendengar ocehannya di pesan WhatsApps tentang ketidakmerdekaan kita. Asal-usul dari dia mengatakan hal tersebut adalah ketika dia baru saja ditolak oleh perusahaan yang berada di dekat rumahnya sendiri, di pedesaan. Rasa mangkel kemudian hadir, bukan hanya karena dia ditolak di perusahaan tersebut, tapi ada persoalan lain. Persoalan lain yang membuat dia merasa begitu tidak merdeka di Negaranya sendiri. 

Dalam sebuah wawancara, dia langsung ditanya oleh pemimpin perusahaan.

“Can You Speak English? “

“I Can, But Just Litlle,”
..........................

Begitu percakapannya dengan pemimpin perusahaan yang berasal dari negara asing. Singkatnya, dia ditolak dari perusahaan, karena dia tidak bisa lancar berbahasa Inggris. Kemudian, sebelum dia pergi dari perusahaan tersebut, dia melihat orang-orang lain yang tanpa di test terlebih dahulu langsung masuk menjadi pegawai di perusahaan tersebut. Namun, sayangnya, orang-orang tersebut masuk di bagian-bagian yang hanya dibutuhkan tenaganya saja, memasukan jarum, menggulung benang dan pekerjaan-pekerjaan kasar yang lain. 

Dia pulang membawa gelisah, apa ini yang dinamakan kemerdekaan itu? katanya merdeka, tapi di negara sendiri, kita tidak bisa menggunakan bahasa kebanggaan kita sendiri. Katanya merdeka, tapi kita tidak bisa memiliki perusahaan sendiri yang kita kelola sendiri. Katanya merdeka, tapi kita masih bergantung kepada perusahaan-perusahaan asing yang semakin hari semakin semena-mena terhadap rakyat Indonesia
.
Kalimat pertama yang penulis tulis itulah yang kemudian terlontar dari mulut sahabat saya, “Kita tidak merdeka di negara kita sendiri”. Rasa sedih dia bawa sampai kerumahnya. Kemudian dia putuskan, “Aku tidak mau, generasi selanjutnya nanti seperti itu, dipermalukan di tanah air sendiri,” begitu ucapnya dengan mantap. Akhirnya dia memutuskan untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang guru, yang berkeinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Merdeka, bisa dipandang dari berbagai perspektif. Bagi kaum moralis borjuis, kita tidak merdeka kalau kemiskinan masih ada. Lalu apa sebab musabab kemiskinan itu? Bagi kaum moralis konservatif, kemiskinan disebabkan karena kita malas. Sedangkan kaum moralis liberal menganggap kemiskinan disebabkan oleh kebodohan. Namun, nyatanya, ada yang bekerja sangat keras, tapi tetap saja miskin. 

Ada yang sangat pandai namun kemiskinan tidak pernah pergi begitu saja. Lalu dimanakah merdeka itu berada? Atau jangan-jangan merdeka saat ini hanya dimiliki oleh golongan-golongan tertentu yang dengan kekayaannya dia bisa membeli apapun yang dia kehendaki. Atau milik golongan-golongan pemerintah yang saban hari hanya membincang soal perut, perut dan perut saja. 

Atau jangan-jangan merdeka hanya ada pada orang-orang yang mengaku sebagai penjaga tanah air kita. Atau jangan-jangan merdeka hanya dimiliki oleh para pembawa janji-janji yang dikeluarkan mulut berbusanya setiap lima tahun sekali? Atau bahkan milik golongan asing yang kebetulan hidup di negara ini dan bertindak semena-mena?

Dan dalam hal ini, rakyat layaknya anak sapi yang digambarkan dalam lagu Donna-donna. Donna sendiri memiliki arti anak sapi. Donna-donna merupakan sebuah terjemahan dari bahasa Yiddish yang ditulis oleh Aaron Zaitlin. Dalam lagu ini, anak sapi menginginkan menjadi burung layang-layang supaya bisa terbang bebas dan bergembira. Lagu yang sangat sesuai mungkin dengan kondisi kita saat ini.
..................

//Donna-Donna-Donna-Donna/ Donna-Donna-Donna-Don/Donna-Donna-Donna-Donna/Donna-Donna-Donna-Don//

//”Stop complaining!?’ said the farmer/ Who told you a calf to be?/ Why don’t you have wings to fly with/ Like the swallow so proud and free//

// Calves are easily bound and slaughtered/ Never knowing the reason why/ But whoever treasures freedom/ like the swallow has learned to fly//

Penulis mencoba mengartikan, 
//Berhentilah mengeluh!? Kata Petani/ Siapa suruh jadi anak sapi?/ Mengapa kamu tidak memiliki sayap untuk terbang/ Seperti burung layang-layang yang sangat bangga dan bebas// Anak-anak sapi mudah diikat dan dibantai/ Tanpa tahu alasannya / Tapi siapa pun yang mencari kebebasan/ Seperti burung layang-layang, harus belajar terbang/

Kita harus punya sayap untuk bisa terbang seperti burung layang-layang. Supaya kita bisa bebas dan senang. Merdeka adalah sebuah kesenangan dan kebebasan. Penggambaran ini layaknya burung gelatik yang dituliskan oleh Tan Malaka dalam konsepsinya tentang kemerdekaan dalam bukunya berjudul Merdeka 100 %, yang didalamnya berisi tiga pembahasan, yaitu Politik, Rencana Ekonomi Berjuang dan Muslihat. Konsepsi merdeka menurut Tan tertuang dalam percakapan yang dilakukan oleh Mr. Apal (wakil kaum intelegensia), Si Toke (wakil pedagang kelas menengah),si Pacul (wakil kaum tani), Denmas (wakil kaum ningrat) dan si Godam (wakil buruh besi). Penulis mengutip percakapan tersebut :

“Engkau lihat itu burung gelatik. Dia bisa terbang kesana kemari, dari pohon kepohon mencari makan. Alangkah senang hatinya. Dimana ada makanan disana dia berhenti makan sambil menyanyi. Kalau hari senja dia pulang ke sarangnya. Itu namanya merdeka. Tak ada kesusahan. Selalu riang gembira.” (Politik, Tan Malaka, 1945) 

Bagi Tan, melalui percakapan tersebut, merdeka adalah seperti burung gelatik yang bisa bebas terbang kesana kemari untuk mencari makan. Tidak hanya itu saja, burung tersebut juga merasa senang hatinya. Tidak ada rasa kesusahan atau ketakutan. Dengan seperti burung gelatik tersebut, baru kita benar-benar merdeka. 

Dari sini, penulis ingin bertanya, tentang kejadian yang dialami oleh sahabat saya. Apakah kita senang menggunakan bahasa asing di tanah kita sendiri? Apakah kita bebas ketika menggunakan bahasa asing? Lalu dimanakah sumpah pemuda itu di tepati dan dihormati, jika bahasa indonesia dianggap remeh oleh negara asing? Atau apakah kita sudah bahagia dengan bekerja dibawah orang-orang asing di negara kita sendiri?

Sudahkah kita merdeka dari kapitalisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme? Sebuah kemerdekaan yang dicita-citakan oleh Tan Malaka. Sudahkah kemerdekaan itu dimiliki oleh rakyat seluruhnya? Penulis mantap menjawab : tidak. Kita hanya merdeka secara de facto dan de jure dalam politik saja. Sebuah kemerdekaan yang diperjuangkan pada 72 tahun yang lalu. Selain itu, kita belum merdeka.
Merdeka seratus persen : sebuah harapan utopis?

Nasionalisme yang menuntut kedaulatan suatu bangsa atas tanah airnya sendiri. Agaknya itu adalah sebuah harapan utopis. Kita hanya mendapatkan yang distopis. Sebuah kenyataan pahit kemerdekaan. Di kuasai oleh pihak asing dan diberlakukan secara semena-mena. Padahal menurut Tan, dengan Merdeka seratus persen, kita akan menguasai secara penuh atas tanah air kita sendiri, seperti yang disampaikan si Godam kepada si Pacul :

“Tepat, Cul! Merdeka 100%! Kalau kita sudah merdeka 100% buat menguasai keluar masuknya barang asing itu, maka barulah kita bisa merdeka 100% menentukan “ARAH” industrialisasi di Indonesia, yakni menuju ke INDUSTRI BERAT seperti kilat. Baru sesudah kita mempunyai dan sanggup menyelenggarakan industri berat, baru kita bisa membikin sendiri alat kemakmuran dan alat pertahanan (seperti meriam, tank, kapal selam - terbang dsb). Barulah pula bisa dijamin Kemerdekaan Indonesia. Selama Indonesia belum mempunyai Industri Berat, selama itu pula INDONESIA MERDEKA terancam sangat Jiwa Kemerdekaannya. “ (Politik, Tan Malaka, 1945)

Dari percakapan ini, kita dapat berdaulat secara ekonomi. Setelah berdaulat dalam politik, dengan kita berdaulat secara ekonomi, maka kemerdekaan itu akan menjadi sebuah harapan yang bisa terwujud, bukan menjadi sebuah hal yang utopis apalagi distopis. 

Di momen 17 agustus ini, kemerdekaan setiap tahunnya diulangi dan dirayakan kembali. Memasang bendera merah putih di depan rumah, upacara, lomba-lomba ringan- katanya lomba yang mensimbolkan sebuah perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Padahal rutinitas yang selalu dan berulang-ulang dilakukan untuk memperingati hari bersejarah di negara kita, tanpa sadar terkadang menertawai kemerdekaan itu sendiri. Atau jangan-jangan kemerdekaan yang digaungkan dijalan-jalan dan disetiap sudut kota atau desa adalah sebuah kemerdekaan palsu. Hanya sebuah topeng saja. Didalamnya kita masih belum merdeka. 

Tiba-tiba saja, ditanggal dan bulan ini, kita menjadi sangat bangga dan bersorak sorai mengumandangkan kemerdekaan, Merdeka-merdeka dan merdeka. Sebuah kemerdekaan yang tanpa kita sadari semakin hari semakin hilang karena kita tidak menjaganya dengan sungguh dan berjuang untuk benar-benar merdeka seratus persen. 

Memakai bahasa Indonesia di tanah air sendiri saja adalah sebuah kesalahan. Seharusnya, ketika bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi, maka, mau tidak mau orang-orang asing yang berada di Indonesia harus juga menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapannya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka (orang asing) menghormati Indonesia sebagai negara merdeka. Bukannya sebaliknya, di tanah air kita sendiri, kita diharuskan memakai bahasa asing. Secara tidak langsung penggunaan bahasa asing adalah penjajahan terselubung. Menciderai sumpah pemuda 89 tahun yang lalu. 

Tidak ada yang salah dengan sikap yang dihadirkan sahabat saya dengan berniat untuk mencerdaskan bangsa ini, melalui pendidikan. Ini secara tidak sadar adalah sikap yang lebih bersifat diplomatik dan adaptif. Namun, Ada sikap lain yang lebih baik menurutku, sikap tersebut adalah, “Harusnya cecunguk-cecunguk yang berada di Indonesia itulah yang belajar bahasa Indonesia kalau dia menghormati kemerdekaan kita,” Jawabku. 

Penulis: Ahmad Amiruddin

Perantauan yang sedang mencari kemerdekaan dalam kitab suci.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak