Ilustrasi Timor Leste merdeka (Adobe Firefly) |
SEMARANG, lpmedukasi.com - Timor Leste, yang dulu dikenal sebagai Timor Portugis dan kemudian Timor Timur, telah melalui perjalanan panjang dan kompleks menuju kemerdekaannya. Sebagai salah satu negara termuda di dunia, kemerdekaan Timor Leste tidak dicapai dengan mudah. Perjalanan ini penuh dengan konflik, penderitaan, dan perjuangan tanpa henti oleh rakyatnya. Setelah lebih dari dua dekade di bawah pemerintahan Indonesia, Timor Leste akhirnya meraih kemerdekaannya pada tahun 2002 melalui referendum yang didukung oleh PBB.
Artikel ini akan mengulas bagaimana Timor Leste berhasil merdeka dan apa implikasinya bagi Papua. Untuk mengaitkan teori Huntington dengan pembahasan mengenai Politik Reformasi dalam keamanan di Indonesia, kita perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang relevan dari teori tersebut serta konteks sejarah dan politik di Indonesia dan Timor Leste.
Teori Huntington: Gelombang Demokratisasi
Samuel P. Huntington, dalam karyanya "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century," mengidentifikasi bahwa perubahan politik besar sering terjadi dalam bentuk gelombang demokratisasi yang melanda berbagai negara. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-19, dipicu oleh Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, sementara gelombang kedua terjadi setelah Perang Dunia II dan proses dekolonisasi di berbagai belahan dunia. Gelombang ketiga, yang berlangsung dari 1974 hingga 1990-an, ditandai dengan runtuhnya rezim otoritarian di banyak negara, termasuk Portugal, serta penyebaran demokrasi di Amerika Latin, Eropa Timur, Asia, dan Afrika.
Reformasi politik di Indonesia dimulai setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pergantian kekuasaan ini dipicu oleh tekanan massa dan tuntutan reformasi politik, ekonomi, dan sosial yang lebih inklusif. Reformasi ini membawa perubahan signifikan dalam sistem politik Indonesia, termasuk pembentukan kembali TNI sebagai institusi yang lebih profesional dan transparan. Selain itu, reformasi juga menandai kembalinya kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pengakuan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari kebijakan publik.
Reformasi politik di Indonesia tidak hanya mempengaruhi tatanan politik domestik, tetapi juga berdampak pada kebijakan keamanan nasional. Prioritas utama pemerintah pasca-Reformasi adalah membangun kepercayaan publik terhadap aparat keamanan, meningkatkan akuntabilitas, dan mengubah budaya militer yang lebih otoriter menjadi lebih terbuka dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Teori Huntington menggambarkan bagaimana gelombang demokratisasi dapat mempengaruhi perubahan politik dalam skala besar. Indonesia mengalami perubahan signifikan setelah jatuhnya rezim Soeharto, mengikuti pola umum gelombang ketiga demokratisasi yang diidentifikasi oleh Huntington. Reformasi politik yang berlangsung di Indonesia tidak hanya mencakup perubahan dalam tatanan politik internal, tetapi juga mempengaruhi dinamika regional, termasuk pengaruhnya terhadap Timor Leste.
Sejarah Timor Leste
Pada abad ke-16, Portugis tiba di Timor Leste dan segera menetapkan wilayah tersebut sebagai bagian dari kekaisaran kolonial mereka. Timor Leste kemudian menjadi koloni Portugis, dikenal sebagai Timor Portugis, dan selama berabad-abad mereka mengelola dan mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama kayu cendana dan kopi. Namun, setelah Revolusi Bunga di Portugal pada tahun 1974, yang mengakhiri rezim diktatorial di negara tersebut, Portugal mulai menarik diri dari wilayah-wilayah kolonialnya, termasuk Timor Leste.
Pada tahun 1975, ketika Portugal meninggalkan Timor Leste, wilayah tersebut menyatakan kemerdekaannya secara sepihak. Namun, kemerdekaan ini berumur pendek karena pada bulan Desember tahun yang sama, Indonesia melakukan invasi militer ke Timor Leste, dengan alasan untuk mencegah kekacauan dan menyatukan kembali wilayah tersebut.
Pada tahun 1976, setelah invasi militer tersebut, Timor Leste secara resmi dijadikan Provinsi Timor Timur, bagian dari Indonesia. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa integrasi ini didukung oleh mayoritas penduduk Timor Timur, meskipun banyak pihak internasional dan kelompok lokal yang mempertanyakan legitimasi proses tersebut.
Selama masa kolonial, batas wilayah di Timor telah ditetapkan secara definitif oleh perjanjian antara Portugal dan Belanda pada tahun 1902, yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian: Timor Portugis di timur dan Timor Belanda (sekarang bagian dari Indonesia) di barat. Invasi Indonesia ke Timor Leste memicu konflik berdarah yang berlangsung hingga tahun 1999, dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk kekerasan, penyiksaan, penahanan tanpa pengadilan, dan pemindahan paksa. Perkiraan jumlah korban jiwa akibat konflik ini berkisar antara 100.000 hingga 250.000 orang, termasuk mereka yang tewas akibat kekerasan langsung maupun akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu oleh situasi konflik.
Tragedi ini menarik perhatian internasional dan memicu tekanan global terhadap Indonesia untuk mengizinkan rakyat Timor Timur menentukan nasib mereka sendiri. Akhirnya, pada tahun 1999 di bawah kepemimpinan Presiden B. J. Habibie serta pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diadakan referendum di mana mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka dari Indonesia. Hasil referendum ini membawa akhir dari pendudukan Indonesia dan memulai proses panjang untuk membangun kembali negara yang baru merdeka tersebut sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada 20 Mei 2002. Kemerdekaan ini menandai awal baru bagi rakyat Timor Leste, yang mulai membangun negara mereka dengan fokus pada perdamaian, rekonsiliasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
Faktor Timor Leste Merdeka
Hak menentukan nasib sendiri berarti semua bangsa secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Timor Leste memiliki hak ini dan telah menggunakannya untuk mengusulkan kemerdekaan.
Hukum internasional sangat penting ketika berhadapan dengan masalah hukum internasional. Hukum internasional mengatur hubungan antarnegara dan subjek hukum lainnya, serta memiliki bentuk perwujudan khusus seperti hukum internasional yang berlaku umum dan regional. Dengan demikian, Timor Leste memiliki hak untuk mengusulkan kemerdekaan dan mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya mereka secara bebas.
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa Timor Leste tidak memiliki hak menentukan nasib sendiri karena mereka tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk mengusulkan kemerdekaan. Namun, Timor Leste telah menggunakan diplomasi yang kuat dengan negara-negara lain dan memiliki budaya yang dipengaruhi oleh bangsa Portugis. Mereka juga memiliki kekerabatan dengan masyarakat di Pulau Lirang, Kecamatan Wetar Barat, yang memiliki bahasa yang sama dengan bahasa Atauro dan Tetun. Dengan demikian, Timor Leste memiliki hak menentukan nasib sendiri dan telah menggunakan hak ini untuk mengusulkan kemerdekaan.
Dampak Positif dan Negatif Timor Leste Merdeka bagi Indonesia
Dampak Positif Kemerdekaan Timor Leste
1. Pembangunan Infrastruktur: Wilayah Timor Timur mendapatkan tingkat pemerataan pendidikan, irigasi, kesehatan, serta sarana dan prasarana yang lebih baik.
a. Pendidikan: Pembangunan sekolah dan fasilitas pendidikan yang lebih baik, meningkatkan akses penduduk Timor Timur terhadap pendidikan.
b. Irigasi: Pembangunan sistem irigasi yang lebih baik, meningkatkan produksi pertanian dan kualitas hidup masyarakat.
c. Kesehatan: Pembangunan fasilitas kesehatan yang lebih baik, meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
d. Sarana dan Prasarana: Pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, dan fasilitas umum yang lebih baik, meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memudahkan mobilitas.
2. Pembangunan Ekonomi: Pemerintah Indonesia melaksanakan "program darurat" yang fokus pada pembangunan prasarana produksi pertanian di wilayah Timor Timur.
a. Produksi Pertanian: Pembangunan jalan, irigasi, dan fasilitas lainnya untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
b. Koperasi Desa: Pembangunan koperasi desa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menjual hasil pertanian dengan harga yang lebih baik.
c. Industri Pertanian: Pembangunan industri pertanian untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan meningkatkan pendapatan petani.
3. Stabilitas Politik: Integrasi Timor Timur dengan Indonesia menjamin stabilitas politik di wilayah Timor Timur.
4. Partisipasi di ASEAN: Timor Leste menjadi observer pada KTT ASEAN 2023 dan berpotensi menjadi anggota ASEAN, yang dapat meningkatkan kerja sama regional.
Dampak Negatif Kemerdekaan Timor Leste bagi Indonesia
Setelah Timor Leste merdeka, ada beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh Indonesia:
1. Dampak Militer dan Kemanusiaan:
a. Operasi Militer: Pada tahun 1976-1979, Indonesia melancarkan operasi militer di Timor Timur, dikenal sebagai Operasi Seroja. Akibatnya, terjadi banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan.
b. Korban Jiwa: Diperkirakan 100.000 hingga 180.000 warga sipil tewas dalam konflik ini, baik akibat kekerasan langsung maupun kelaparan. Selain itu, sekitar 400 tentara Indonesia juga tewas saat operasi di Dili.
c. Kerusakan Infrastruktur: Banyak rumah, jalan, dan fasilitas umum rusak parah, yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat Timor Timur.
2. Dampak Ekonomi:
a. Pengawasan Militer: Pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Timor Timur terganggu karena berada di bawah pengawasan militer Indonesia.
b. Kesulitan Petani: Meskipun produktivitas kopi dan cengkih meningkat, petani dipaksa menjual hasil panen mereka dengan harga rendah kepada koperasi desa, yang mengakibatkan pendapatan mereka tidak meningkat.
c. Keterbatasan Akses: Pengawasan militer juga membatasi akses ke sumber daya alam, sehingga menghambat perkembangan ekonomi.
3. Dampak Politik:
a. Penghancuran Pemberontakan Fretilin: Pemberontakan Fretilin yang menentang pendudukan Indonesia berhasil dihancurkan melalui operasi pengepungan dan pembasmian. Ini menyebabkan pemerintahan sementara Timor Timur yang didirikan pada Desember 1975 tidak bisa berfungsi secara efektif karena berada di bawah kontrol militer Indonesia.
b. Pengaruh Internasional: Pemberontakan ini juga menarik perhatian internasional. Amerika Serikat, misalnya, mendukung invasi Indonesia ke Timor Timur dengan alasan keamanan dan stabilitas regional.
Kemerdekaan Timor Leste adalah hasil dari berbagai faktor, termasuk budaya yang kuat dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Sejarah panjang perjuangan mereka didukung oleh diplomasi yang cerdas dan dukungan internasional. Keberhasilan ini memberikan implikasi penting bagi Papua, yang juga memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.
Papua, dengan identitas budayanya yang kaya, harus memperkuat strategi diplomasi internasionalnya, belajar dari pengalaman Timor Leste dalam membangun jaringan dukungan global. Dengan diplomasi yang kuat, Papua memiliki potensi untuk mengikuti jejak Timor Leste dalam meraih kemerdekaan.
Daftar Pustaka
Bertrand, M., & Sánchez-Ancochea, D. (2014). The Long and Winding Road to Independence: Explaining Political Choices in Timor-Leste. Journal of Southeast Asian Studies, 45(1), 23-44. doi:10.1017/S0022463413000640
Leach, M., & Punch, S. (2015). Understanding Violence, Understanding Change: The Case of Timor-Leste. Journal of Intervention and Statebuilding, 9(3), 297-315. :doi 10.1080/17502977.2015.1020847
Dobra, A. (2016). Statebuilding and Hybridity in Post-Conflict Timor-Leste. Asian Journal of Comparative Politics, 1(2), 136-151. doi:10.1177/2057891116644718
Kingsbury, D. (2017). Diplomacy and Statebuilding in Timor-Leste: A Personal Perspective. Contemporary Southeast Asia, 39(2), 291-314. doi:10.1355/cs39-2f
Schwartz, J. (2018). Decolonization, Independence, and the Politics of Timor-Leste's
Transitional Justice. International Journal of Transitional Justice, 12(1), 124-143. doi:10.1093/ijtj/ijx031
Silva, C. (2019). East Timor: A Dream Achieved, a Nation in Transformation. Journal of Contemporary Asia, 49(3), 442-464. doi:10.1080/00472336.2018.1550706
Amaral, L. (2020). The Political Economy of Timor-Leste. Asian Journal of Comparative Politics, 5(1), 36-54. doi:10.1177/2057891119888851
Munoz, J. (2021). Statebuilding and International Relations in Timor-Leste. International Peacekeeping, 28(3), 362-381. doi:10.1080/13533312.2020.1837401
Horta, J. R. (2022). Timor-Leste and ASEAN: Challenges and Opportunities. Journal of Southeast Asian Studies, 53(1), 78-96. doi:10.1017/S0022463421000316
Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.Simon & Schuster.
De Sousa, L. (2022). The Evolution of Timor-Leste's Foreign Policy: From Independence to the Present. Australian Journal of International Affairs, 76(1), 85-104. doi:10.1080/10357718.2021.1902615
Sequeira, M. (2018). Sovereignty and the United Nations: The Case of Timor-Leste. International Journal of Politics, Culture, and Society, 31(1), 45-63. doi:10.1007/s10767-016-9250-3
Taylor, J. G. (2017). Nation Building in Timor-Leste: Postcolonial Integration or Marginalization? Journal of Contemporary Asia, 47(3), 445-467. doi:10.1080/00472336.2016.1274362
Do, Q. T. (2019). Understanding the Economic Development of Timor-Leste: Lessons and Challenges. Journal of Southeast Asian Economies, 36(2), 217-239. doi:10.1355/ae36-2d
Maia, F. A. (2020). Oil Dependency and Sovereignty: Timor-Leste's Experience. Journal of Developing Societies, 36(1), 67-87. doi:10.1177/0169796X19866813
Guterres, A. (2021). The Role of Civil Society in Democratization: The Case of Timor-Leste.
Journal of Developing Areas, 55(3), 343-362. doi:10.1353/jda.2021.0036
Penulis: Eneng Wiliyanti
Editor: Agustin