Matinya Lulu La Belu dan Teman Sekelasnya


Doc. Internet


Mulut ibu-ibu itu seperti keluar asap. Hitam tebal dan bergumul lalu membumbung keangkasa. Diantara asap itu adalah kata-kata umpatan. Sumbernya berasal dari satu mulut. Pangkalnya yaitu di dada yang terasa sesak, lalu ditumpahkan dengan penuh amarah yang mungkin akan menusuk dada dan muncullah seseorang dengan dada yang lebih sesak lagi.

            Pagi itu sebenarnya cerah, semalam purnama mekar begitu indahnya. Setelah rapor dibagi entah kenapa suasana di sekolah terbaik Brang Lor itu jadi panas dan gerah. Benar sekali, seorang ibu muda beranak satu tidak terima karena putrinya dapat peringkat dua di kelas. Sambil menumpahkan sumpah serapahnya, sesekali ia mengutuki anak perempuannya yang sebenarnya terlalu lembut untuk dimarahi. Karmela yang periang dan cerdas itu hanya plonga-plongo melihat ibunya. Lalu Lasmini, ibu karmela, perempuan berkulit kinclong dan berminyak itu melenggang pulang dengan mulut manyun dan mata dipicingkan.

            Sepanjang perjalanan pulang diceritakannya kepada siapa saja yang ia temui. Sambil menyodorkan rapor dan mengeluarkan asap-asap dari mulutnya. Sebagian dari yang mendengar ceritanya itu hanya mangut-mangut mengamini. Sebagian lagi menimpali lalu membenarkan, dan dari situ perempuan yang kerap disapa Lasmi itu makin menggebu bercerita. Dan asap makin pekat.

            Sampai rumah, Lasmi makin geram penuh amarah. Ramli yang sedari tadi main burung perkutut kena semprotnya. Dilemparnya tas dan rapor bewarna hijau itu ke wajah suaminya. Sambil menyeburkan umpatan-umpatan dan asap pekat tentunya. Lelaki yang badannya cungkring itu cuma bisa menenangkan. Parahnya semakin ditengkan istrinya itu makin meradang. Akhirnya ia pasrah, beranjak meninggalkan istrinya yang semakin hari semakin bongsor itu. “Terserah, ayah mau ke bengkel,” katanya.
***
            Hal berbeda, di rumah berdinding papan jati tanpa politur, satu keluarga sedang merayakan sebuah hajatan kecil. Mereka ingin makan enak malam itu. Menyembelih ayam peliharaan dan memasak nasi liwet yang harum. Meskipun pada akhirnya mereka makan sisa dari sebagian yang telah diberikan kepada tetangga samping rumahnya.

            Hari ini Lulu, anak kecil berpipi tembem, berkulit bersih yang kerap disapa Lulu La Belu mendapat ranking satu di kelasnya. Anak Bungsu itu bahagia sekali, sebab ia mendapat hadiah satu set alat tulis dari gurunya. Tak hanya itu, ia juga berkesempatan untuk berfoto bersama kedua ibu guru yang nantinya akan dipasang di dinding kelas. Mereka terlalu asik dengan kebahagiaan itu. Tak tahu bahwa di luar rumah sebenarnya pekat. Hitam sejak sebelum malam.

            Sampai setelah pulang mengaji dari langgar, Lulu La Belu ditanyai oleh para tetangganya. “Ranking berapa Lu, Lulu La Belu?”. Dengan bangganya bocah yang genap berusia tujuh tahun itu mengacungkan jari telunjuk kanannya dan tersenyum sambil memiringkan kepala. Matanya sedikit sipit, dan jikalau ia tersenyum, sempurnalah seperti tidur. Dari situ ia tidak melihat bahwa ada asap pekat yang keluar diantara mulut-mulut yang berbisik singkat.

            Sesampainya di rumah, Lulu La Belu membuka laci meja belajar, melihat dan mengelus pensil, penggaris, setip, serutan dan setumpuk buku bergambar kartun di tv. Ia tak peduli dengan rapornya. Ayahnya yang lebih duluan pulang dari langgar menghampiri bungsunya itu, “Seneng?”. Lulu La Belu hanya mengangguk-angguk. “Belajar yang rajin Nok”, ayahnya menambahi, mengelus kepalanya, lalu melenggang pergi.
***
            Tiga hari setelah purnama, dua hari setelah pembagian rapor, asap hitam pekat keluar dari rumah-rumah. Usut punya usut asap itu bersumber pada sebuah percakapan di facebook. Seorang pemilik nama Tin-Tin berkomentar pada status milik akun bersama Lasmi cyang amoe. Topik yang mereka bahas tidak lain tidak bukan adalah soal ranking. Malam pekat oleh asap-asap. Semakin kasar serapahnya semakin pekat asapnya.

            Seperti lalat yang terundang oleh aroma manis. Orang-orang ramai-ramai berbondong memberi like pada status Lasmi cyang amoe itu. Komentar-komentar juga makin ramai. Asap-asap semakin bergumul. Malam jadi lindap dan gulita. Baru setelah pukul sebelas malam asap-asap itu pudar karena mata-mata telah terpejam diiringi irama dengkur yang naik turun.

            Udin, Tamia, Karmela, Lulu La Belu dan teman sekelasnya masih terjaga, mereka membaca buku yang sama di rumahnya. Sampulnya bertuliskan “Belajar Membaca”. Tentu orang tua mereka sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Mereka tidur pada tengah malam lebih, lalu bangun ketika mendengar umpatan-umpatan dari ibu mereka, saat matahari sudah setengah naik ke langit.

            Seperti lagu yang selalu diulang-ulang di kelas, bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku. Begitulah ritual pagi yang harus mereka lakukan. Jika tidak, tentu mereka akan mendapatan semprotan bahkan jeweran dari ibunya.
            Tiga pagi setelah pembagian rapor asap tebal masih menyelimuti Brang Lor, yang paling pekat adalah diantara ibu-ibu yag sedang membeli sayur di dekat pos ronda. “Lulu La Belu itu tidak pantas mendapat ranking satu,” ucap ibu berambut keriting. “Karmela lah yang lebih berhak, ia mandiri di kelas,” timpal ibu bertubuh gempal. “Lulu La Belu sering sekali bertanya pada Bu guru, sedikit-sedikit bertanya,” imbuh ibu muda berparas cantik. “Jadi yang paling berhak ranking satu ya Karmela, bukan Lulu La Belu,” pungkas Lasmi.

            Di tengah asap-asap yang semakin tebal bergumul diantara ibu-ibu, Karmela, Lulu La Belu dan teman sekelasnya asik bermain di Ban, tanah lapang di Brang Lor. Mereka tertawa girang dan gembira. Tak ada asap-asap yang menyelimuti. Itu hari libur ketiga dalam libur panjang sebelum Ramadhan. Dan tiga pagi berturut-turut mereka selalu main bersama. Beberapa ada yang senang bermain gundu. Tapi Karmela, Lulu La Belu, Udin dan Tamia lebih suka main polisi-polisian.

            Mereka berempat selalu bergantian peran, Udin, anak semata wayang pak RT pagi itu jadi begundal pasar. Tamia jadi Polisi, Lulu La Belu dan Karmela adalah korban pencopetan. Udin yang ditangkap oleh Tamia lalu diikat menggunakan pelepah pisang pada pohon randu. Itulah penjaranya. Apik sekali alur itu untuk anak seusia mereka. Pada pohon randu yang berjatuhan kapuknya, beberapa kali Udin kabur, lari sekencang-kencangnya lalu dengan sigap Tamia mengejarnya. Tertangkap kemudian terlepas lagi. Tertangkap, terlepas sampai akhirnya mereka bosan dan menyudahi permaian.

            Ditengah bubarnya anak-anak, sebuah perselisihan hebat terjadi. Saat arisan di rumah pak RT, ayah Udin. Dua kubu terbentuk, satu kubu berisi ibu muda yang cantik bernama Tin-Tin, ibu berambut keriting, ibu bertubuh gempal dan Lasmi. Satu kubu lagi berisi sekelompok ibu-ibu yang menenangkan ibu Lulu La Belu, perempuan separuh baya itu sedang terisak-isak.

            Seperti kebakaran, rumah itu diselimuti asap hitam tebal. Sesekali Lasmi mengeluarkan makian dan rasa kecewanya. “Karmela lah yang pantas, bukan anakmu yang suka tanya itu,” teriak Lasmi sampai urat lehernya terlihat. Wajahnya memerah, nafasnya tersengal dan dua matanya hampir keluar dari lubangnya. Asap tebal yang biasanya berwarna hitam kini jadi keungu-unguan. Dan datanglah angin semacam lesus membuat asap-asap itu berputar-putar, berhamburan dan terhempas.
***
            Sekelompok anak yang habis bermain, pulang melintasi rumah Udin. Mereka lapar dan ingin segera pulang, berharap di meja akan ada ikan untuk lauk makan. Saat melintasi rumah Udin, tiba-tiba mereka tersedak lalu terbatuk-batuk tanpa jeda. Beberapa ada yang pingsan di tempat, Lulu La Belu si gadis periang termasuk di dalamnya. Disusul Karmela dan yang lain lemas tak berdaya.

            Melihat keributan di luar dan suara lolongan kesakitan, pertikaian antara dua kubu menjadi redam. Asap-asap menghilang, menguar bersama udara. Orang-orang berbondong menuju sumber suara. Sontak mereka kaget bukan kepalang ketika melihat anak-anaknya tergelatak, lemas, ada juga yang pingsan. Ibu-ibu itu membopong anaknya sendiri menuju rumah.  Lalu dibaringkan ketempat tidur, diberi minum dan disayang-sayang.

“Kamu kenapa nak, ibu belikan bakso ya?” rintih ibu berambut keriting.
Tamia terbatuk hebat diranjangnya, wajahnya memerah, hidungnya keluar cairan kental. Dielapnya berkali-kali hidungnya dengan kain kacu. Ibunya yang khawatir, segera membawanya ke Bidan. Ia hanya kena flu, kata bidan itu.

            Hal senada juga dirasakan oleh Karmela, Lasmi telah menyiapkan buah manggis dan sup di sisi kanannya. Ia juga telah mencekoki putrinya itu dengan obat dari dokter Hadjir, dokter terkenal dari Kota. Tak lupa ia juga membuat status untuk putri pertamanya itu, “Cepat sembuh ya sayang” lengkap dengan emoticon sedih. Wajah Karmela juga memerah, matanya sayu dan hidungnya mampet.

            Lulu La Belu yang dikompres ibunya juga tak berhenti terbatuk-batuk. Selain mengeluarkan cairan kental, tubuhnya menggigil hebat. Ibu dan ayahnya telah membawanya ke dokter di perempatan desa. Dokter itu hanya bilang bahwa, anak kecil berambut hitam legam itu kena flu. Antibiotik dan parasetamol akan menyembuhkannya. Namun dua hari kemudian keadaanya makin parah. Lulu La Belu tak mau menelan apapun barang sesuap. Matanya merah dan ia lebih banyak terpejam.

            Hal itu juga dialami Udin, Tamia dan teman-teman sekelasnya yang tiga hari lalu bermain bersama di bawah pohon randu. Semua penduduk sibuk mencari obat namun tak ada suatu zat pun yang mampu menyembuhkan sakit itu. Dokter dan tabib tersohor juga telah dipanggil oleh tetua Brang Lor. Namun hasilnya nihil.

            Pagi harinya Brang Lor dikejutkan dengan kematian masal. Semua anak-anak yang terjangkit semacam flu itu mati. Berita itu berhembus sampai ke kota. Pagi itu penduduk kota disibukkan dengan berburu koran. Tak ada peloper di lampu merah hari itu. Koran mereka sudah ludes sebelum dijajakan. Kematian masal anak-anak Desa Brang Lor, begitulah bunyi headlinenya. Semua orang bersedih pagi itu. Mereka menerka-nerka ikhwal kematian masal itu. Beberapa ada yang berspekulasi, anak-anak mati karena terkena kutukan Batara Kala. Ada juga yang berkata, terkena sawan. Dugaan terakhir adalah karena terjangkit virus. Suasana sangat kabung pagi itu. Namun tiada setiup asap pun, langit biru dan matahari santer bersinar.

            Kesedihan mendalam dialami oleh ibu Lulu La Belu, sebelum putri kesayangannya itu pergi selama-lamanya, Lulu La Belu sempat berkata “Aku tak mau ranking satu Bu”. Begitulah yang ia ucapkan sebelum jiwanya dijemput oleh malaikat bersayap. Sementara itu, Lasmi dan ibu-ibu lain menangis sejadi-jadinya. Beberapa ada yang menjambak-jambak rambutnya sendiri, Lasmi dan ibu berpostur gembul termasuk di dalamnya. Mungkin saking sedihnya, ia juga tak sempat bikin status. Tidak ada taziyah pagi itu, semua berkabung di rumahnya masing-masing. Hari itu, sepekan setelah pembagian rapor, di bawah langit biru, kicau burung perkutut ayah Karmela, desiu angin dan kapuk yang terbang perlahan, Brang Lor melakukan penguburan masal.

            Paginya, saat air mata belum kering. Lewat toa langgar, tetua Brang Lor memberi pengumuman. Lulu La Belu dan teman sekelasnya mati karena keracunan asap yang berwarna hitam keungu-unguan.  
                                                                                                                        Fitri Ulya D
                                                                                                                        Tawang Mas, Mei  2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak