Pagi yang Tengkurap di Jendela Kaca



doc. Internet


Aku masih di sini, menghabiskan malam tanpa riuh suara, tanpa bising mesin, tanpa dering nada ponsel yang sering memecah pekat malam. Hanya ada aku, penat dan seseorang dibelakang sana. Entah dimana damai itu bersembunyi, hanya mimpi terhampar di atas keping ilusi.

Ku ajak jemari berdansa di atas tombol, di penghujung waktu sekedar menggores sehelai elegi jiwa bernada sendu. Tentang gelisah yang kembali terkuak dari dasar lapisan jiwa terdalam. coba menerawang ke arah langit, namun yang kudapat hanyalah hitam, layaknya aroma kopi yang sedang diseduh dibelakang sana. Ya, hitam seperti kopi itu. Di balik hitamnya kopi, ada manis candu yang kunikmati.

Lalu, kau hitam yang selalu disebut manis itu, masihkah ada setitik rasa yang tersisa? Ataukah telah sirna, tenggelam dalam derasnya laju zaman yang tak lagi berirama merdu? Rasanya sangatlah sulit untuk menemukan jawaban final dari beribu tanya yang sedang bergelayut dalam sebuah kesangsian

Kini, aku hanya bisa berspekulasi tentang dasar dari setiap gejolak yang pernah ada. Tentang makna di balik takdir Yang Maha Asyik. Tentang hitam yang pernah memanjakan tenggorokanku. Tentang hitam yang pernah kupuja, yang kini bagai memuja bayang. Ya, hanya ada bayang yang bertengger dalam nelangsa hayal.

“Aku tak tahu sekarang harus bagaimana, Ra,” suara Dewo memecah keheningan. Tak aku respon.

“Ini aku buatkan kopi, minumlah Ra jangan sampai kedinginan,” aku tetap diam, acuh. Memangnya berapa waktu yang dibutuhkan untuk membuat kopi? Lama sekali di  dapur.

“Ra, jangan diam saja. Asmara?”

“Aku tak suka kopi.”

“Sejak kapan?”

“Sejak… entah,” suaraku hampir habis ditelan air mata, berkaca-kaca.

“Kenapa bisa tidak suka? Kan itu favorit kamu, aku apalagi, pelengkap di setiap kebersamaan kita.” Kata-kata Dewo begitu halus, pandangan matanya teduh. Namun di balik itu dia bajingan.

“Aku tak suka kopi karena itu adalah kau! Aku benci! Pergi Wo, aku sakit melihatmu terus di sini.” Aku pecah, berteriak, menangis.

“Ra, aku minta maaf. Bukan salahku Ra, aku berani sumpah. Aku tak pernah bermaksud mencium Dina, dia yang menggodaku lebih dulu.”

“Lalu salah siapa??!!! Aku jauh-jauh datang dari rumah demi bertemu kamu. Tapi malah ini yang aku dapat? Aku sakit Wo!”

“Ra, maafkan aku. Aku sayang kau Asmara.”

“Pergi!”

“Asmara, aku bisa jelaskan. Kumohon dengarkan aku Ra.”

“Pergiiii….!” 

“Iya iya, baik aku pergi. Besok jam 10 pagi aku jemput kesini lagi, istirahat ya Ra, sayangku.”

“Terserah, tidak ke sini selamanya juga terserah.”

Malam begitu gigil. Bukan. Bukan karena suhu kota atau suhu kamar kita yang turun sekian derajat. Melainkan kitalah. Dua yang gigil sebagai segelas air putih dari botol kaca di kulkas yang diapungkan di dalamnya persegi-persegi es beku. Berkeringat karena  gigil yang entah. Mungkin karena telah sebegitu lamanya. Mungkin karena telah sebegitu jauhnya. Lalu apa yang kaku beku pada masing-masing kita sudah saatnya cair. Meleleh membawa kedukaan yang sekian membelenggu.
Kemudian langkah kecil-kecil detik waktu melebar. Semakin lebar. Semakin besar. Mencipta jarak dan semakin membuatmu tak tergapai. Setiap malam punya pagi untuk ditinggalkan. Setiap pagi punya malam untuk diharap-harapkan. Pagi, pagi ini, tengkurap di jendela kaca. Pagi itu pingsan. Denyutnya begitu lemah. Nafasnya satu-satu.
Lalu tiba ketika malam menanggalkan jubah hitam berhias lembayung kebesarannya.  Surya menyingkap tirai pekat yang megah, aku melihat sepi merangkak meninggalkan ranjang sambil membawa mahkota yang bertahtakan berlian surya. Ia tak lagi berbaring di atas ranjang kehidupan yang begitu keras sampai-sampai lukai jantungnya. Nampak sosok hangat senyuman mega berbaur bersama embun dan kabut menyeruak, sang sepi menjauh dari ranjangnya dengan pakaian hitam yang hampir pudar terlihat berkilau tersibak cahaya. Ku ikuti langkah dan seluruh helaan nafasnya dengan seksama lalu di persimpangan ku tanyai ia

Wahai sepi, hendak ke mana kah engkau beranjak?”

 “Aku hendak pergi ke alun-alun kota,” jawabnya. 

Apa yang hendak engkau lakukan di tengah riuhnya pusat kota?”

“Aku hendak pulang ke rumah,” sahutnya.

Bukankah tempatmu di sana, di antara himpitan jurang dan langit yang menjulanginya?

“Bukan, di sana tempat sang damai bukan tempat tinggalku. Aku hidup di tengah keramaian dan tumbuh di antara hiruk-pikuk dunia.” Lalu dia pun meneruskan langkahnya, sedangkan aku tertunduk memikirkan semua yang baru saja sang sepi sampaikan.





  Bio Penulis:
Putri Sonia lahir di Pati tanggal 23 desember. Penyuka es jeruk ini mempunyai nama pena Ardyon Steville. Novel favoritnya adalah novel karya Andrea Hirata. Mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris disalah satu universitas islam di Semarang ini beralamat di Perumahan Bakti Persada Indah (BPI) blok E-19 kelurahan Purwoyoso Kec. Ngaliyan Semarang. Hubungi Sonia di nomor 0815-7509-5100, Facebook : Sonia Putri, Twitter @ardyon_steville, dan Instagram : @ardyonsteville.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak