Tinjau Ulang Kebijakan UKT


Doc. Edukasi

Ketika Wakil Rektor (Warek) II UIN Walisongo Semarang mengatakan "kalau tidak punya uang tidak usah kuliah," sesuai dengan yang dilansir oleh lpmmissi.com pada Minggu, 03/06/2018. Kalimat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang miskin dilarang kuliah. Hal ini kontradiksi dengan apa yang disampaikan oleh Menristekdikti, M. Natsir setahun silam, ketika ada penurunan anggaran pendidikan tinggi, dia menjelaskan bahwa jangan sampai ada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang nantinya ditakutkan ada calon mahasiswa baru yang tidak jadi kuliah karena tidak mampu membayar. "Sehingga jangan sampai UKT membebani anak miskin. Jangan sampai yang sudah diterima tidak bisa masuk gara-gara tidak mampu membayar kuliah," (Antaranews.com 30 Januari 2017). Dari kalimat itu, sama halnya dengan tujuan pertama kali adanya UKT, untuk memberikan keringanan orang miskin agar bisa kuliah. Melalui subsidi silang yang diterapkan.

Namun, dengan adanya kalimat pernyataan dari Warek II UIN Walisongo tersebut menjadi bukti Bahwa apa yang dikonsepkan oleh pemerintah pusat belum tentu bisa diterjemahkan secara baik oleh petinggi-petinggi kampus, sebagai eksekutor kebijakan. Melihat ini menjadi jelas, bahwa niat baik pemerintah yang dengan diterapkannya UKT akan menjadi solusi orang miskin untuk berkuliah hanya menjadi omong besar dan utopis belaka. Nyatanya apa yang terjadi di lapangan adalah kebalikan dari apa yang digaungkan, banyak calon mahasiswa baru yang harus menggigit lidahnya sendiri karena dikentel dengan UKT yang tinggi. Akibatnya, mereka harus mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kuliah, disebabkan biayanya yang semakin mahal.

Meskipun secara konseptual orang miskin dapat menikmati keberuntungan melalui UKT yang paling rendah yaitu golongan satu. Keberuntungan itu layaknya kupon yang diberikan oleh jajanan ringan saja, jika tidak beruntung akan mendapatkan tulisan "coba lagi". Kalau beruntung bisa menikmati hadiahnya. Bisa melanjutkan jenjang pendidikannya. 

Ketidakberuntungan itu adalah suatu hal yang dilematis, mau dilanjutkan ternyata biaya mahal, tidak dilanjutkan ternyata kuliah sudah menjadi kebutuhan yang pokok yang dianggap bisa menjamin masa depan. Maka, pertaruhan orang miskin itulah yang kemudian menentukan. Meskipun sebenarnya Warek II UIN Walisongo sudah memberikan solusi yang jelas, kalau tidak punya uang tidak usah kuliah.

Sedangkan calon mahasiswa baru yang beruntung mendapatkan biaya rendah bisa melanjutkan kuliahnya. Kuota keberuntungan ini sesuai dengan Permenag (Peraturan Menteri Agama) minimal 5%, mungkin saja- karena tidak ada transparansi dari birokrat kampus- hanya diterapkan mentok 5%, padahal aturan kementrian adalah minimal, harusnya minimal itu menjadi batasan yang bisa melebihi 5%, taruhlah 30 % misalnya, hal ini sah-sah saja, karena dalam peraturan itu yang diatur adalah batas minimal. Akan tetapi, kembali lagi, kita bisa menyakini bahwa orang-orang yang beruntung itu mungkin hanya 5% saja.

Secara sadar dengan kecacatan konseptual dan praksis tersebut, kita menuntut pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT). Harus ada keterbukaan (transparansi) di setiap instansi kampus. Sediakan kuota lebih banyak golongan pertama.  Lebih-lebih batalkan kebijakan UKT yang semakin mencekik rakyat miskin. 

_Redaksi_

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak