Laut yang Agung , Cinta yang Bahaya



Doc. Internet

Yukio Mishima mempunyai cara tersendiri dalam menulis kritik, ide serta gagasannya. Penulis Jepang ini memilih bersantai dalam tulisan tidak banal. Selain itu Mishima memilih gaya romantisme; meletakkan kejayaan masa lalu untuk masa kini. Salah satunya dalam novel Pelaut yang Ternoda. Namun kisah tidak lebih banal ini dalam terjemahan Indonesia masih terasa memberontak. Perbandingan ini jauh sekali  dari judul aslinya Gogo no Eiko (Kapal Penarik Sore Hari), judul yang tersirat jauh dari versi Indonesianya.

Berangkat dari judulnya, tema laut mempunyai arti lebih dalam melalui pandangan Mishima. Memang sudah seharusnya bahwa Jepang memiliki laut dan pantas jika Mishima menjadi salah satu pelaut. Lewat Ryuji-lah pemaknaan laut dikupas. Laut adalah kejayaan yang masih mengandung ambiguitas . Arti laut kita dapatkan dalam angan-angan Ryuji bahwa daratan berupa sesuatu yang lamban. “mabuk laut” hingga akhirnya membawa Ryuji buta akan daratan. Rel dan dinding lebur dalam bentuk batasan dan pembatasan, realiatas yang ada hanya laut.

Sampai akhirnya alur cerita berubah arah. Ryuji jatuh cinta pada Fusuko. Mau tak mau ia harus hidup  menjadi orang darat. Meninggalkan semboyan seorang pelaut tidak bisa setia. Kemudian idealism  penulis muncul, bahwa cinta seolah membahayakan. Misihima memandang Ryuji telah kehilangan kejayaannya sebagai pelaut serta kejayaannya. Kejayaan yang cepat, dinamis dan bebas telah terkungkung. Mishima melihatnya melalui Noburo dengan tubuh minor: anak kecil. Dimana Noburo mencatatnya sebagai dosa-dosa Ryuji terhadap dirinya.

Arti ini kita akan dapatkan, berangkat melalui alur pembuka dengan kalimat perintah. “Tidur yang nyenyak sayang” perintah Fusuko ibu Noburo yang pada akhir cerita akan menikah dengan Ryuji. Namun Noburo tidak menuruti perintah ibunya. Ia asik dengan lubang kunci yang ditemukannya tempo hari. Lubang yang mengungkap persanggaman Fusuko (ibu) dengan Ryuji (idola). Hingga akhirnya kesadaran itu mengungkap bahwa keduanya sedang diselubungi oleh cinta. Dan di sinilah pemaknaan “cinta itu bahaya” terbangun.

Nobura sendiri dilahirkan oleh Mishima sebagai penggemar Ryuji dan anak dari Fusuko. Cara pandang tokoh inipun tak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Ryuji. Mereka berdua membenci sesuatu yang lamban, Ryuji menyimbolkan daratan dan Noburo cinta. Keduanya adalah batas. Alasan yang membagi novel ini dalam dua musim: panas dan dingin.

Musim panas dalam pandangan pelaut adalah musim bahagia. Laut begitu bersahabat yang merekahkan senyum. Sebaliknya, musim dingin adalah sesuatu yang bahaya. Cuaca berubah jadi membeku dan lain sebagainya. Anggapan demikian membangun arti fase kehidupan yang berbeda. Dalam catatan Cep Subkha KM, novel ini merupakana metamorfosis kehidupan manusia. Fase dalam Noburo bebas ke terisolasi, bebas ke terisolasi ke bebas pada Ryuji.

Metamorfosis

Fase yang dihadapi Noburo seperti halnya kisah-kisah anak kecil yang tidak menginginka ayah baru. Apalagi membayangkan ayahnya adalah pelaut indolanya yang telah memutuskan meninggalkan laut. Cerita yang dibagun akhirnya memberi porsi anak dalam beberapa bab. Nobura beserta gengnya melakukan persengkokolan. Hingga membedah dan menguliti seekor kucing secara harfiah, begitulah nasib Ryuki nantinya. Ia mati karena persengkokolan Nobura dan gengnya dengan menaruh racun di tehnya. 

Tampak pada alur ini kita bisa mendedah bahwa apa yang dihadapi Noburo seperti hanya teori Oedipus Kompleks. Bahwa seorang ayah tidak lebih dominan dalam pandangan seorang anak. Gambaran akan ayah selalu dilukiskan sebagai idola dan penuh kemaran. Ayah seperti hanya lalat yang tiba-tiba menempel di kepalamu dan merebut perhatian ibumu.

Ungkapkan  kecemburuan oleh Mishima digambarkan pada bagaimana Noburo cemburu dengan Ryuji bisa bebas bercinta dengan ibunya. Sedangkan Noburo harus tidur dikamarnya. Padahal Ryuji sendiri sudah memberikan kebaikan pada si anak. Tidak menghukumnya saat kepergok mengintip dari lubang kunci. Cara pandang yang demikian itu seolah mempertegas penolakan Mishima terhadapa “bahaya Cinta”.

Fase kedua lebih berbeda. Mishima meletakkannya pada Ryuji. Fase bebas-isolasi-bebas adalah fase yang rumit. Fase ini tampak seperti hanya ajaran yang lahir dari Mishima. Bahwa kematian digambarkan sebagai pembebas. Seperti kisah yang sudah dijelakan bahwa Ryuji adalah manusia bebas dan terkungkung karena cinta lantas bebas kembali. Simbol bebas yang terakhir ini tampak begitu ambigu dengan kematian.

Dalam angan-angan saya, definisi surga merupakan bentuk kebebasan. Mungkin itulah yang diangankan oleh Mishima melalui Noburo. Noburo menganggap bahwa Ryuji adalah orang yang bebas yang terkekang oleh cinta terhadap Fusuko. Maka dengan membunuhnya, Noburo telah mengembalikan kebebasan itu.

Tapi ternyata pandangan yang dibangun oleh Mishima adalah kritik belaka. Ia orang yang menjujung tinggi tradisi kekaisaran Jepang pada masa lampau. Namun dalam pandangan Mishima itu semua telah runtuh oleh metalisme barat. Mungkin inilah yang digambarkan dengan laut dan cinta itu. Laut sebagai tradisi yang agung dan cinta adalah metalisme barat yang meruntuhkan. 

Mungkin inilah yang di maksud bahaya yang lekas pudar oleh Chairil.

Pelaut Yang Ternoda
Oleh                                        Yukio Mishima
SKU                                        : Pelaut yang Ternoda
Berat                                       : 0.3 kg
Dimensi                                  : 12 x 18 cm
Tahun Terbit                           : 2016
ISBN                                       : 978-602-1318-43-0
Penerbit                                  : EA Books
Penerjemah                             : Nurul Hanafi
Jumlah Halaman                     : 246
Resentator                               : Abdul Aziz Afifi



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak