KH. A. Syahid: Keutamaan Hidup Menekan Sikap Intoleran

Doc. LPM Edukasi
Fenomena intoleransi akhir ini tidak boleh dipandang sebagai isu sederhana, namun sudah mempengaruhi keragaman bangsa Indonesia. Misalnya, model kebijakan pemerintah bersumber dari tekanan masa berbasis agama yang merugikan hak berserikat dan berkumpul sesama warga negara Indonesia. Hal ini, sudah banyak dimuat diberbagai media masa dan hasil penelitian para akademisi, praktisi media, catatan kejadian demi kejadian intoleran yang dilakukan sekelompok orang atau masyarakat.

Selain kasus ini, telah terjadi bom bunuh diri meledak di depan Mapolres Surakarta, di dekat Masjid Nabawi, di Madinah, di Konsulat Amerika di Jeddah, Istanbul, Dhaka, Baghdad dan Libanon. Sehubungan dengan fenomena ini, pemerintah terbaca belum tuntas menyelesaikan kekerasan kaum intoleran, baik secara verbal maupun non verbal. Meskipun demikian, sudah terbaca keseriusan pemerintah menekan laju perkembangan gerakan Intoleran dan radikal di bumi Indonesial Mengapa seseorang bersikap intoleran dan radikal? Bagaimana jawaban Mbah KH. A. Syahid terhadap intoleransi dan radikalisme?

Menjaga Keutamaan Hidup


Kekhasan teks sufistik yang menjadi acuan pembacaan Mbah KH. A. Syahid, adalah kitab Minhajul Abidin. Semasa penulis nyantri kepada beliau, kitab ini dibaca sesudah pembacaan aurat dan shalawat dari beliau, yang di baca mulai ba'da Al magrib hingga pukul 20.30 dilanjutkan shalat Isya' berjamaah. Sesudah Shalat Isya' ini, para santri yang ikut kajian teks Minhajul 'Abidin langsung masuk ke ruang Mbah KH. A. Syahid.

Kata kunci yang selalu ditekankan beliau selama memaparkan materi kajian kitab ini, adalah membangun semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Dalam pandangan KH. A. Syahid, prinsip kemanusiaan merupakan pijakan yang memiliki keutamaan langsung dari Allah. Karenanya, semua manusia tidak boleh mengabaikan prinsip keutamaan memuliakan seluruh anak cucu Adam, sehingga harus menjaga persaudaraan kemanusiaan dan menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis.

Penekanan KH. A. Syahid tentang manusia ini hendak menunjukkan kepada para santri, bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Artinya, dengan mengabaikan kemanusiaan, maka sama artinya mengabaikan ajaran kenabian yang bersumber dari Allah. Jika seseorang mengabaikan prinsip yang bersumber dari Allah, maka sama artinya mengabaikan Allah. Dari sini, juga dapat dipahami adanya relasi suci antara Allah dan manusia serta hal hal yang terkait dengan kelangsungan hidup manusia, yaitu lingkungan hidup yang harmonis.

Prinsip yang terus berjalan yang terefleksi dari pandangan dan perilaku Mbah KH. A. Syahid ini dapat dirasakan oleh para santri dan masyarakat. Hal ini membuktikan, keberadaan KH. A. Syahid, adalah sudah menjadi teks atau tanda yang menandai arti penting makna kemanusiaan. Makna kemanusiaan ini, tidak boleh diabaikan dalam ajaran agama dan sistem kekuasaan. Karenanya, kehadiran KH. A. Syahid sangat dibutuhkan zamannya untuk menjawab krisis kemanusiaan yang kerap menjadi sasaran utama kelompok ekstremis.

Kelompok ekstrimis memiliki keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang meluap untuk mencari jati diri dan identitas. Karena keterbatasan pemahaman kelompok ekstrimis ini, maka mereka ini mudah dicekoki oleh paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan. Sebagai contoh adanya beberapa isu yang dilontarkan oleh kelompok ekstrimis, seperti gerakan anti NKRI dari aktivis yang ingin mendirikan khilafah.

Kelompok ekstrimis ini menolak kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam berfikir dan menentukan keyakinannya. Dalam kelompok ini tidak mengenal artikulasi pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan.

Berbeda dengan kelompok ekstrimis, KH. A. Syahid mampu menunjukkan komitmen penghargaan pada keragaman dan kebudayaan. Beberapa contoh penghargaan beliau terhadap keragaman, di antaranya: pertama, bersikap adil (ta'adul) dan tetap mejaga keseimbangan (tawâzun) di tengah kehidupan masyarakat. Sikap ini telah ditunjukkan KH. A. Syahid setiap menerima informasi dan berita, beliau selalu menimbang dan meniti kebenaran dan keutamaan yang datang dari siapa pun secara objektif.

Kedua, bersikap moderat (tawassuth) dan toleransi (tasâmuh) terhadap paham dan keyakinan masyarakat yang berbeda. Prinsip yang kedua dapat menjadi fundasi gerakan Islam Nusantara melakukan perbaikan (ishlâhîyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlâh al-ummah (perbaikan umat). Sehubungan dengan kedua prinsip ini, telah menjadi keutamaan yang sudah membentuk kekhasan Ulama Nusantara dan menjadi nilai dasar kepribadian para santri kemadu (mabadi` asasiyyah). Prinsip ini, juga menjadi panduan KH. A. Syahid kepada dalam memberdayakan potensi keberagamaan masyarakat.

Menekan Sikap Intoleransi

Perlu penulis tegaskan, selama penulis berada dalam asuhan beliau, belum pernah mendengarkan Istilah intoleransi dari beliau. Mengapa saya jadikan cakupan ide dan pandangan yang menjadi tema penelitian ini? Hal ini karena adanya sifat dan sikap kaum intoleran yang mengakukan diri dan klaim kebenaran yang bersumber hanya dari dirinya sendiri seara berlebihan. Sifat dan sikap yang seperti ini yang sering disebut Mbah Syahid sebagai bentuk sifat dan sikap "Ananiyah". Dalam mengkaji kitab Minhajul Abidin, penulis pernah mencatat satu kata "ananiyah" dari beliau.

Dalam pembahasan sub bab ini, sifat dan sikap ananiyah penulis masukkan pada katagori seseorang yang bersikap intoleran. Jadi, yang mengkaitkan istilah ananiyah dengan Intoleran, adalah merupakan pengembangan dari penulis. Dengan demikian, jika ditemukan kata intoleran dalam studi terhadap KH. A. Syahid, merupakan istilah dari penulis yang perlu mendapatkan pendampingan sebagaimana mereka yang disebut Mbah Syahid sebagai bentuk dari sifat ananiyah.

Berikut ini, model atau cara KH. A. Syahid menekan sikap intoleransi yang timbul di tengah keberagamaan: pertama, adanya pemahaman dan kayakinan sebuah kelompok yang menganggap paling benar sendiri. Pemahaman dan keyakinan kelompok lain yang berbeda, adalah salah. Dalam menjawab sikap intoleran yang pertama ini, KH. A. Syahid menegaskan, perlunya memahami Islam dari akhlak Nabi Muhammad, sehingga umat Islam tidak memahami Islam, dari dasar penegakan hukum secara formal (Fiqh) dengan tanpa memahami nilai nilai historis pengembangan risalah kenabian.

Cara yang kedua, umat Islam perlu bersama sama mewaspadai kehendak kuasa kelompok kepentingan, baik bersifat individual maupun komunal. Ciri kelompok ini selalu bersifat emosional. Dengan kewaspadaan yang kuat, kelompok ini tidak akan mudah merusak keragaman dalam perspektif Islam. Ciri pandangan dan sikap emosional, adalah lebih banyak mengedepankan fanatisme terhadap keyakinannya saja, namun mengabaikan pemahaman yang menyeluruh dari ajaran agama dan sistem kekuasaan.

Dari pemaparan di atas, perlu dimulai dari para subjek dampingan untuk merajut pola keberagamaan yang benar benar mengajarkan kebaikan antar sesama umat manusia dan saling mrmberikan pertolongan kepada sesama serta bersikap adil terhadap siapa pun yang sedang berselisih. Karenanya, sebagaimana pesan KH. A. Syahid perlu memberikan dampingan kepada masyarakat korban, agar tidak bisa bersikap eksklusif di tengah keragaman agama dan budaya. Dalam konteks tertentu sikap beragama yang eksklusif ini memilih konflik berhadapan dengan keyakinan yang berbeda.

Berbeda dengan mereka yang suka ananiyah, yang penulis sematkan dengan kaum intoleran, Mbah Syahid lebih sering memandang pihak lain sebagai sebuah proses perjalanan yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian, tidak perlu merendahkan dan menghinakan pihak yang lain, sebab semua cucu Adam telah dimuliakan Allah Jalla Jalaluhu, semua harus saling menghargai dan menghormati harkat dan martabat umat manusia.

Dalam konteks keindonesiaan, kaum intoleran bergerak semakin meluas. Mereka ini berkedok sebagai pengikut Aswaja, sebagai mana prinsip ajaran yang diambil warga NU. Mereka ini, mengaku sebagai gerakan yang ingin mengembalikan atau menegakkan kembali Piagam Madinah dan mengganti konstitusi UUD 1945, falsafah Pancasila dan semboyang Bhineka Tunggal Ika. Meskipun demikian, kita semua akan merasakan membaca ide dan pandangan Ulama Nusantara dibandingkan dengan ungkapan kaum intoleran.

Ubaidillah Achmad, Dosen UIN Walisongo Semarang dan Khadim PP. Bait As Syuffah An Nahdliyyah Sidorejo Pamotan Rembang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak