Is, Payung Teduh, dan Kiat Menjaga Idealisme



Doc. Internet


Muhammad Istiqomah Djamad alias Is vokalis payung teduh itu, sebentar lagi akan hengkang. Dalam kanal Youtube: Beritagar ID, Is mengungkapkan merasa tereksploitasi oleh panggung bersama Payung Teduh. Ada apa dengan Is, apakah ia tidak ingin benar-benar tenar dan mengeruk kekayaan yang melimpah dari cara bermusiknya?

Ada anomali dari sikap Is dalam jagat hiburan. Ketika semua artis berlomba-lomba mencari panggung bahkan sampai-sampai membuat sensasi. Seperti gambaran kasar yang dituturkan Joost Smiers dan Marieke van Schijdel “kalau tidak manggung tidak eksis”. Namun Is memilih untuk tetap kungkum bersama masyarakat seperti dulu awal karir bersama Payung Teduh. Meskipun baru diungkapkan sebagai kerinduannya.

Idiealisme Band Indie

Setidaknya itulah yang digagas Payung Teduh sebagai band indie. Ini artinya, Band indie sama dengan independent. Mereka menghidupi cara bermusiknya dengan biaya sendiri dan mencari mangsa pasarnya sendiri. Selain itu, mereka juga berdiri sendiri dalam sebuah idiologi bermusik dengan melawan arus utama musik.

Dalam buku Revolusi Indie Label, sejarah band indie tidak lepas dari sebuah “pemberontakan” bermusik. Sebagai pengertian idenpendent berangkat dari evolusi musik di Inggris, yang semula Punk beralih dalam Post-Punk (1977-1986). Era itu pulalah, merupakan era pancaroba permusikan di Inggris. Era Punk dengan musik suara keras terlawan dengan istilah anti-rock atau musik yang stylish.  Alasannya wajar, karena perubahan mood pendengar saat itu. Dimana musik punk terasa begitu klise. Hingga “pemberontakan” itu terjadi. Pola dari sikap inilah juga melahirkan model musik sebagai counter-culture terhadap arus utama.

Pada sisi lain, kelahiran sebuah musik indie juga memberi wacana politik dalam permusikan pada saat itu. Yakni memberi kesan feminim akan musik underground yang mempunyai keharusan Keras, Macho, Cerdas dan Gahar. Gaya ini memungkinkan bahwa musik pemberontak tidak harus rock and roll. Namun juga tida berdagang lirik asamara melulu, tapi tetap di imbangi dengan kepedulian sosial dalam bermusik. Seperti Belle and Sebastian dalam “marx and Engels” misalnya, meskipun mempunyai corak asmara tapi masih ada balutan kepekaan sosial dan politik.

Begitulah dengan Is sang vokalis Payung Teduh. Ia ingin mengembalikan kesan “memberontak” terhadap arus utama permusikan Indonesia yang terkesan “mehek” dalam bermusik. Meskipun diakui atau tidak, viralnya Payung Teduh saat ini akibat lagu Akad. Tapi itu bukan berarti kita menghukumi payung teduh sebagai band yang mempunyai lirik “mehek”.

Apakah kita pernah menyimak Cerita Tentang Gunung dan Laut? Dalam liriknya terkesan mengkampanyekan soal pemanasan global. Contohnya dalam penggalan lirik puitis:

 /aku pernah berjalan diatas bukit/ tak ada air/ tak ada rumput/ tanah terlalu kering untuk di tapaki/ panas selalu menghantam kaki dan kepalaku//

Seolah menggambarkan sikap yang luar biasa oleh Payung Teduh. Atau lagu-lagu memotivasi dari Banda Neira dan kawan-kawan indienya, merupakan gambaran “pemberontakan” dalam bermusik.

Melawan Pasar dan Zaman

Bagaimanapun idealisme akan tetap mempunyai tantangan. Jadi teringat ungkapan aktifis di kampus saya, logika tanpa logistik: anarkis. Begitulah dalam logistik bermusik, yang di peroleh melalui panggung, dan apa yang dihadapi Payung Teduh hari ini adalah sebuah pasar yang besar. Pasar yang tidak bisa dikontrol begitu saja. Dunia maya telah membuat namanya membumbung. Sadar tidak sadar Payung Teduh mendapat promosi dari beberapa cover lagu Akadnya.

Imbas dari kecepatan gerak informasi hari ini juga membuat Payung Teduh sering tampil. Pada titik tertentu inilah yang membuat Is goyah dan mengeluarkan statement bahwa harusnya banyakin karya bukan manggungnya. Saya tiba-tiba melonjak dan hendak berteriak “sepakat”. Seolah ada pukulan kepada diri saya “banyakin nulisnya, bukan cetaknya”.

Is mungkin hanya takut silap terhadap apa yang di perolehnya hari ini. Is hanya takut bahwa yang membawanya ke atas adalah sebuah karya bukan hanya masalah manggung yang banyak. Ketakutan lain Is bagaimana menjaga sebuah idealisme bermusik tetap utuh dan semakin kreatif, juga tidak lupa menyajikan kepekaan terhadap sekitar, setelah hasil manggung begitu nikmat nantinya.

Memang tidak mudah mempertahankan idealisme tanpa logistik, tapi sulit bukan berarti mustahil. Kalaupun hanya memburu sebuah pasar, pada zaman secepat ini akan memberi keuntungan sendiri bagi kita. Seharusnya prinsip pasar yang memburu kitalah yang kita terapkan, tentu dengan cara membuat karya yang berkesan bagi para penikmatnya. Karena sebuah ekpresi seni yang kuat yang kita lihat, dengar, dan baca akan meninggalkan jejak kuat pula dalam pikiran kita. kata Josst Smiers dan Marieke van Scijjndel dalam bukunya Dunia Tanpa Hak Cipta

Dan permisi, saya akan mendengarkan lagu Payung Teduh lagi sebelum mereka bubar karena banyak manggungnya.

Oleh: Aziz Afifi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak