Di Sekolah, Kita Dipaksa Memahami Segalanya!



doc. Internet


Teringat ketika itu, sepulang dari sekolah, Bapak saya bertanya, “sudahkah kamu bisa menulis namamu?” tentu saja saya dengan lantang menjawab “Bisa,” tanpa di intruksikan, saya menuliskan namaku dalam secarik kertas. “Ya sudah, tidak usah sekolah, sudah bisa menulis,” ujar bapak ketika itu. Sontak, saya hanya diam saja, tidak meresponnya. Karena ketika itu sedang suka-sukanya sekolah.

Di lain kesempatan, di Desa kami, ada seorang perempuan paruh baya yang memiliki toko kelontong. Toko ini terkenal di segala penjuru desa. Latar belakang pendidikan perempuan tersebut hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Namun, soal perhitungan, dia sangat cepat. Tak jarang pembeli terkadang berbisik kepada anaknya, “Marni (nama penjual toko) saja, sekolah rendah, cara menghitungnya hebat, kaya lagi,” begitu biasanya. Sebagai bentuk kesangsiannya terhadap sekolah.
  
Kejadian-kejadian ini adalah salah satu fakta yang pernah saya alami. Hingga akhirnya di bangku perkuliahan ini, saya kembali teringat kejadian tersebut. Apalagi kemarin sempat mengikuti Sekolah Pemikiran Pendidikan Progresif (SP3), saya kembali mengingat kejadian-kejadian tersebut.  Sebenarnya apa yang dimaksudkan oleh bapak saya ketika itu. Dari sinilah, saya mencoba membedahnya, tentang kecakapan yang sederhana dan bisa menyesuaikan dengan masyarakat.

Di Sekolah, kita banyak sekali memperoleh mata pelajaran (mapel). Terkadang ada yang bangga dengan mapel banyak di sekolah. Padahal, tanpa disadari, dengan banyak mapel tersebut, bisa membuat peserta didik kabur dalam meningkatkan potensi yang diinginkan. Individu-individu itu akan mentah dan serba setengah-setangah di semua mapel. Ditambah lagi dengan peserta didik yang memang tidak berminat di mapel tersebut, karena kecenderungannya bukan dibidang itu. Kita selalu merasa dengan semakin banyak materi yang diberikan, kita merasa sudah membuat peserta didik tersebut semakin cerdas. Padahal itu belum tentu menjadi jaminan.

Lalu, sebenarnya apa gunanya dalam sekolah itu diajarkan mata pelajaran yang dari jenjang kejenjang semakin sulit dan menyulitkan, hingga kadang membuat depresi otak? Kalau ternyata dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalah sebuah perhitungan sederhana. Masyarakat tentu tidak membutuhkan perhitungan sin dan cos atau tetek bengek perhitungan sulit yang lain. Begitu juga dengan mapel-mapel yang lain. Mata pelajaran yang terkesan melangit dan membuat jarak dengan masyarakat daerah.

Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia sistem pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU tersebut pasal 3, pendidikan memiliki tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dari Tujuan ini, ada dua term yang penting. Pertama adalah soal peningkatan potensi, yang kedua adalah soal ketakwaan kita kepada Tuhan dan moralitas. Dalam peningkatan potensi, pendidikan harus bisa meningkatkan potensi masing-masing individu peserta didik. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa setiap individu memiliki potensi yang berbeda-beda. Faktanya, sekolah meratakan semuanya. Parahnya lagi, ukuran kecerdasan individu dipersempit dengan peserta didik yang mendapatkan nilai bagus ketika mengerjakan ujian mata pelajaran sains. Hal ini, yang tanpa disadari dapat mematikan potensi-potensi lain yang dimiliki oleh peserta didik.

Setiap individu memiliki potensi yang berbeda, dan kecerdasan jangan sampai hanya diukur dari pemahamannya terkait mapel sains. Ada banyak kecerdasan yang lain. Misalnya kecerdasan EQ dan SQ. Misalnya saja individu cerdas dalam bermain sepak bola, musik, menggambar, dan banyak lagi. Dari sini, seharusnya pemerintah membuat sistem pendidikan yang memang dapat meningkatkan potensi anak didik. Diberbagai bidang yang diinginkan.
   
Sentralitas yang tak berguna

Dalam pendidikan Indonesia, Ujian Nasional (UN) merupakan perbincangan yang hangat diperbincangkan ketika memasuki kelas tingkatan akhir di sekolah. Kelas tersebut adalah kelas enam SD dan sederajat, kelas 3 SMP dan sederajat, kelas 3 SMA dan sederajat. UN merupakan amanah UU No. 20 tahun 2005 tentang sisdiknas yang memiliki tujuan untuk mengukur pencapaian komptensi lulusan pada matapelajaran secara nasional dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Imbas adanya UN adalah sekolah selalu ‘sibuk’ ketika peserta didiknya menghadapi UN. Dari mengerjakan soal-soal materi yang diujikan, jam tambahan setiap harinya, hingga bahkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh sekolah, guru dan peserta didik. Semua ini dilakukan demi mendapatkan nilai terbaik dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Karena UN sendiri dimaksudkan pemerintah untuk menstandardisasi. Untuk itu pemerintah membuat suatu lembaga bernama Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).  

Dengan sekolah-sekolah tersebut melaksanakan UN dapat memetakan satuan pendidikan, pertimbangan seleksi masuk ke jenjang berikutnya, dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). 
 
Di UN, tak jarang banyak peserta didik yang tidak menyukai matapelajaran seragam yang diujikan secara nasional tersebut. Padahal mapel tersebut tidak semuanya dapat mengembangkan individu yang berbeda-beda kecerdasannya, pun tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat dalam keseharian. Mapel yang diujikan terkadang membuat kesia-sian yang tidak ada artinya, karena tidak disukai dan tidak bisa diterapkan dilingkungan masyarakat sekitarnya secara langsung. Lucu saja, pembelajaran matematika trigonometri hanya menjadi perbincangan-perbincangan dalam kelas yang tidak ada artinya dikehidupan sehari-hari. Apalagi peserta didik yang tidak menyukainya, hanya menjadi hafalan saja dalam ingatan, besoknya sudah hilang.

Harusnya mapel yang seragam adalah mapel nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa saja. Menyoal yang lain itu harus diserahkan kepada masing-masing daerah. Inilah yang dapat membuat pendidikan itu bisa menyatu dengan masyarakat sekitarnya.

Menuju manusia seutuhnya 
  
Bagi saya permasalahan pendidikan di Indonesia bukan masalah metode, guru atau peserta didik, tapi soal matapelajaran yang diberikan. Mapel yang diberikan tidak bisa langsung diterapkan dalam masyarakat. Akibat ulah pemerintah yang menyeragamkan semuanya, akhirnya individu daerah satu dengan daerah lain dipaksa untuk mempelajari mata pelajaran tersebut. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang dimaksudkan oleh Piere Bierdiou. Jadi habitus sebagai suatu budaya masyarakat dirusak dan dipaksa untuk menjadi habitus masyarakat lain yang lebih dominan. Inilah yang menyebabkan kekerasan simbolik yang tidak disadari menyerang kondisi psikis anak didik.
     
Harusnya ketika daerah atau masyarakat sekitarnya adalah petani, maka disediakan institusi pendidikan yang memang konsen dibidang pertanian untuk mengembangkan pertanian di daerahnya. Atau ketika memang dalam daerah tersebut dibutuhkan seorang pegawai, maka pendidikan dihadirkan untuk memenuhi itu.

Habitus masyarakat pertanian jangan dipaksakan untuk menjadi masyarakt pegawai. Berdasi, celana kain, sepatu hitam, dan simbol-simbol kesuksesan yang tidak sesuai dengan keadaan daerahnya. Ini menjadikan imajinasi naif yang menyebabkan penyempitan terhadap makna kesuksesan.
Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tan Malaka dalam madilognya “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” 

Karena kemajemukan di Indonesia, pendidikan lebih ideal jika diserahkan masing-masing daerah. Ini tentu tidak menghilangkan hubungan sentral antara negara. Mapel harus diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik. Jadi, untuk membantu itu, dibutuhkan konsultan pendidikan. Konsultan ini bertugas untuk memberikan saran kepada peserta didik untuk memilih pelajaran mana yang sebaiknya diambil untuk mencapai targetnya menjadi apa yang dia ingingkan. Pun tanpa menghilangkan lokalitas daerah masing-masing.
  
Terlebih pendidikan ini nanti langsung dijuruskan sejak dini. Jadi bukan hanya saat di Perguruan Tinggi (PT) saja. Semisal anak ini memang menginginkan untuk belajar musik, maka sejak dini dia akan belajar segala hal mengenai musik. Pun nanti sekolah-sekolah di Indonesia dalam pembelajaran tidak akan mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan peserta didiknya.

Berlandaskan pada kebutuhan dan keinginan dari peserta didik inilah, pendidikan di Indonesia akan sesuai dengan yang dicita-citakan oleh Bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara, yaitu menjadi manusia yang seutuhnya.  



Penulis: AhmadAamAhmad
Perantauan yang sedang memperjuangkan pendidikaan humanis.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak