Aku Seharusnya


Doc. Internet


Ardyon Steville

“Aku seharusnya tidak pernah menceraikanmu.”

 Satu kalimat mengambang yang tak pernah selesai. Satu malam yang mengubah hidup amburadulku menjadi makin tak karuan. Satu situasi yang memahamkan jika aku tidak sendirian terpuruk dikehidupan meski nyatanya aku merasa menjadi yang paling terpuruk. Menjadi tak berharga disisa usia, luput dari perhatian lalu menjadi samar dan terlupakan.

Hujan lebat sekali malam ini, suara petir saling menyambar seakan langit mau runtuh. Waktu sudah menunjukan tengah malam, tidak ini sudah pagi, ini sudah jam satu lebih. Orang sinting macam apa yang mengetuk pintu dijam segini, jika tujuannya untuk bertamu maka sialan sudah orang itu mengganggu tidurku yang bahkan belum genap satu jam. Sempoyongan ku cari saklar dan menghidupkan lampu, melihat cermin sebentar memastikan rambutku tidak begitu berantakan.

Akan aku bukakan pintu untuknya sekaligus ku damprat karena tak tahu etika bertamu. Belum lagi aku sempat bersuara hanya mangap-mangap saja mulutku karena si tamu sialan berbicara duluan saat pintu baru ku buka separuh.

“Aku seharusnya tidak pernah menceraikanmu.”

 Hah bicara apa si sialan ini, mataku belum melek sempurna tak bisa mencerna perkataannya dengan baik. Bicara tak karuan sambil menundukkan kepala, orang ini memang sinting. Ku suruh dia memperjelas perkataannya dan menunjukan wajah sementara aku berusaha membuka mata sepenuhnya, dan astaga aku terkejut setengah mati melihat siapa yang berdiri dihadapanku sekarang.
“Boleh aku masuk? Hujan semakin deras dan petir ini seakan mau menyambarku.”

Sisa-sisa keterkejutanku masih ada tapi aku paham yang dia mau, tamu ini sudah tidak jadi sialan jadi aku memperbolehkannnya masuk. Dia duduk begitu saja disofa dekat rak buku, masih sama rasanya, katanya.

“Apa yang kau lakukan pagi buta begini dan apa yang aku lakukan, membukakan pintu di pagi buta begini,” sumpah demi apapun tak pernah ada dipikiran bahwa yang akan datang adalah dia.

“Aku kembali lagi ketempat ini. Semua masih sama, suasananya aroma buku-buku lama , goresan pada kaca jendelanya, hanya ubin-ubinnya yang semakin kuning, kurasa. Dan hei, itu lukisan yang aku beli dulu kan sewaktu berlibur bersama teman-teman kuliah dipadang kan?”

Aku tidak ingat ini sudah tahun keberapa, sudah berapa peristiwa terlewati, dan hampir tidak ada yang berubah. Bajunya selalu polos, Kalau tidak biru ya abu-abu. Rambutnya selalu rapi, Kalau tidak cepak ya sedikit berponi. Hanya, garis-garis wajahnya menyuratkan tidak sedikit hal yang dia lalui tahun-tahun belakangan ini. Astaga, kenapa aku mengingat dan memperhatikannya secara detail.

Melihatnya pada situasi seperti ini aku jadi teringat sesuatu. Ah, laki-laki berwajah sendu ini bertahun-tahun lalu entah apa yang merasukinya datang menemui ibuku. Buk bolehkah aku meminta anakmu untuk ku jadikan istri, aku lelaki baik-baik, aku ramah tidak mudah marah, aku punya pekerjaan dengan gaji yang mumpuni untuk menyewa rumah sendiri, dan aku cinta kepada anakmu. Seperti itu kiranya yang dia pinta kepada ibuku, saat itu aku hanya bisa curi-curi dengar dari dapur sambil menyeduh teh. Aku dilamar Ya Tuhan, aku akan menikah dan hamil, aku akan bangga menjawab pertanyaan siapakah yang mengantarmu bekerja, suamiku.

Aku jadi sibuk berpikir adat apa yang nanti akan kami pakai diresepsi pernikahan kami, aku Jawa dan dia dari Padang. Rumah ibuku tidak begitu luas, bagaimana nanti keluarga besarnya datang kesini, mau disuruh tidur dimana. Mas kawin apa yang nanti diberikan untuk meminangku. Kami harus pemberkatan digereja dekat rumah atau yang dipusat kota, sepertinya yang dipusat kota bagus, kami biasa datang ke pernikahan kawan-kawan kuliah.

Sampai akhirnya kami benar-benar menikah. Keluarganya datang banyak sekali dari Padang, mungkin ada dua puluhan orang. Rumahku benar-benar tidak muat dan meminjam rumah tetangga sebelah untuk tempat menginap mereka sementara. Dihari pernikahan itu pula pertama kali aku bertemu orang tuannya, yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku, selama ini kami-aku dan orangtunya-hanya bertukar kabar lewat whatsapp atau skype. Ibunya memberiku kalung perak yang katanya itu warisan keluarga, diberikan kepada menantu dari anak tertua. Aku bahagia sekali, keluarganya menerimaku tanpa menuntut apa-apa, tanpa mempermasalahkan suku kami yang berbeda.

Satu tahun berjalan. Pernikahan kami bahagia layaknya pasangan yang lain. Persis seperti yang diangan-angankan, dia menyewa rumah untuk kami tinggali bersama, setiap hari dia mengantarku ke tempat kerja sebelum dia sendiri pergi bekerja. Pada hari-hari libur kami pergi mengunjungi ibuku dan mampir ke toko buku kecil disana, membeli satu-dua buku atau hanya sekadar melihat-melihat. Tidak ada masalah yang berarti.

Sampai tahun ke dua. Aku hamil. Tidak seperti suami muda lain yang sumringah mendegar kabar bahwa istrinya hamil, laki-laki ini malah mengernyitkan alis. Benar-benar tidak wajar, mungkin pikirannya tengah ruwet tentang pekerjaan atau masalahnya lainnya tapi ini istrinya hamil. Ini hal yang paling dinanti dalam perkawinan kan, hal yang aku nantikan selama ini. Begitu sampai dua bulan usia kandungan, responnya tetap dingin dan acuh. Perhatiannya semakin berkurang padaku, mengajakku bicara hanya soal keperluannya saja.

“Ini sudah dua bulan sejak terakhir kali kita memeriksakan kandunganku,” kami hanya sempat sekali datang ke dokter, itu saat ku kira aku sakit karena selalu muntah-muntah saat makan tapi ternyata aku hamil dan sudah tiga minggu.

“Aku sedang banyak pekerjaan, kau bisa pergi sendiri ke dokter.”

“Aku tidak mau, aku mau suamiku yang mengantarkanku.”

“Tapi aku sibuk,” dia menatapku dengan tatapan kosong dan kalimat yang menggantung.

“Astaga! Istrimu sedang hamil muda dan kau hanya perlu menemaninya pergi ke dokter, itu saja, bukankah semua suami melakukan itu?”

            Aku tidak tahan lagi dengan situasi dan sikapnya yang seperti itu, aku mungkin harus mengabari mertuaku, ya memang keluarga disana belum tahu kalau aku hamil hanya ibuku saja yang ku beri tahu. Kedua mertuaku senang sekali mendengar berita bahwa aku hamil, sekaligus menyayangkan sikap anaknya yang seperti itu, mereka mengatakan bahwa sudah menduga akan ada hal semacam ini dan aku semakin tidak mengerti.

            Ibu mertuaku menceritakan saat dia sedang mengandung anak terakhir-yang tidak pernah dilahirkan- dia sakit karena bawaan janin, begitu berlarut-larut sampai usia lima bulan. Badan ibu menjadi kurus kering, ibu tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya berbaring, tidak bisa mengurus keluarga dengan baik tidak doyan makan apapun, ibu seperti mayat hidup. Ayah mertua, suami, dan kedua adik iparmu jadi terlantar karena kondisi ibu yang begitu. Suamimu terutama, dia menjadi sedih sekali dan lalu tidak mau berbicara banyak dengan ibu, dia mengatakan dia tidak suka melihat ibu hamil, aku tidak mau melihat ibu hamil dan dia tidak suka orang yang sedang hamil. Aku melipat dahi, jadi hal itu terjadi karena trauma masa lalu. Dia mungkin merasa khawatir aku akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami ibunya, dan pula sikapnya berubah karena tidak suka melihat orang hamil. Situasi ini menjadi semakin sulit untukku.

            Jadi ku putuskan untuk mencari waktu yang tepat untuk memberikan pengertian kepada suamiku, sampai suatu malam dia terlebih dulu mengajakku bicara. Masih dengan sikap dinginnya yang menjadi semakin dingin, rasanya ruang keluarga kami beku. Hal gila yang sama sekali tak pernah terlintas dibenakku selanjutnya terjadi. Kau tanda tangani saja surat ini, aku tidak bisa bertahan dalam kondisi seperti ini lebih lama lagi.

 Aku lalu tidak begitu mengerti apa yang terjadi seterusnya, kepalaku pusing sekali dan mungkin aku tertidur semalaman. Yang aku tahu saat bangun darah mengalir dari selangkanganku dan noda merah besar ada diseprai ranjang.
                                                                        ***
“Aku memang tidak pernah berada disisimu, tapi aku tahu semua yang kau alami tahun-tahun belakangan ini. Aku tahu kau pindah pekerjaan, aku tahu kau berganti gaya rambut tiga kali, aku tahu nenekmu meninggal, aku tahu kau kesulitan merawat anak-anak kucingmu.”

“Ya karena tidak punya anak jadi aku merawat anak kucing.”

“Aku senang kau sehat. Aku minta maaf membuatmu kehilangan anak dalam kandunganmu.”

 “Siapa yang memberitahumu kalau aku disini?”

“Tetangga sebelahmu, aku meminta bantuannya.”

”Bagaimana?”

“Aku menemukan memo dipintu kulkas. Dirumah kita berdua dulu, aku mencarimu kesana.”

“Aku.. aku ..”

“Aku menyesali semuannya, aku minta maaf?”

“Sebenarnya ada yang belum kau tahu.”

“Apa?”

“Aku seharusnya tidak pernah mengiyakan permintaanmu untuk bercerai.”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak